Investasi Asing Naik 62 Persen
JAKARTA - Pamor industri manufaktur Indonesia tengah berada di titik tolak kebangkitan setelah satu dekade yang sulit pascakrisis keuangan Asia 1997\"1998. Kegiatan manufaktur di Indonesia tercatat bangkit sejak 2010 lantaran ada pemulihan ekonomi global dan sentimen investor yang lebih baik terhadap prospek yang ditawarkan pasar domestik.
Ekonom senior Bank Dunia (World Bank) Sjamsu Rahardja mengatakan, akselerasi sektor manufaktur yang tinggi itu hasil permintaan domestik, terutama untuk industri logam, makanan, bahan kimia, dan suku cadang otomotif. Permintaan domestik tersebut seolah tidak terpengaruh oleh krisis keuangan global dan tetap tumbuh 6,4 persen pada paro pertama 2012 yang dipicu tingginya investasi dan konsumsi.
Selain itu, aliran deras investasi asing beberapa kuartal terakhir bakal mampu menggenjot pamor industri manufaktur. Tercatat investasi asing (foreign direct investment) di industri manufaktur pada kuartal kedua 2012 mencapai USD 1,2 miliar atau naik 62 persen year on year (yoy). Tidak hanya itu, kenaikan upah buruh di Tiongkok diprediksi memicu perusahaan tekstil, pakaian, dan sepatu merelokasi pabriknya ke Indonesia. Apalagi, industri otomotif Jepang gencar memperluas jaringan di Indonesia.
\"Namun, Indonesia tak cukup mengandalkan permintaan domestik dan internasional. Masalah-masalah yang menjadi penghambat harus direduksi,\" ungkap Sjamsu di sela seminar World Bank bertajuk Mempercepat Laju Revitalisasi Pertumbuhan di Sektor Manufaktur Indonesia kemarin (10/10).
Sjamsu menjelaskan, salah satu masalah yang membayangi pertumbuhan industri manufaktur Indonesia di masa depan adalah gencetan ekonomi makro dan mikro. Di antaranya, mulai apresiasi rupiah, naiknya upah buruh, tingginya biaya logistik tinggi, hingga sulitnya mengakses pinjaman bank. \"Gencetan skala makro telah memicu penurunan margin laba perusahaan,\" terangnya. Dia mencontohkan, tingkat perolehan (rate of return) perusahaan di Indonesia anjlok drastis di angka 4 persen pada periode 1999\"2010 jika dibandingkan dengan periode 1990\"1996 yang mencapai lebih dari 11 persen.
Kepala Ekonom Bank Mandiri Destry Damayanti membeberkan, sejauh ini kondisi makro yang terjadi di dunia maupun yang berimbas ke Indonesia memantik sensitivitas sektor manufaktur. Misalnya, industri yang terkena dampak krisis global 2008, antara lain, logam dasar besi dan baja, mesin, serta perlengkapan transportasi, produk semen, dan penggalian bukan logam.
Sementara itu, industri yang cukup bertahan adalah industri makanan, minuman, dan tembakau. \"Manufaktur cenderung sensitif jika ada isu makro, seperti krisis global. Apalagi jika isu tersebut berdampak pada margin perusahaan yang anjlok. Jadi, bukan berarti bank tidak ingin mengucurkan kredit ke manufaktur, tapi tentunya kami melakukan perhitungan bisnis,\" jelasnya. (gal/c6/kim)