Stop Inefisiensi Transfer Daerah

Rabu 17-10-2012,00:00 WIB

JAKARTA - Postur Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) terus menjadi sorotan. Besarnya alokasi anggaran untuk belanja pegawai dinilai menjadi penyebab lemahnya daya dorong APBD terhadap perekonomian daerah.

                Direktur Eksekutif Institute for Development of Economic and Finance (INDEF) Ahmad Erani Yustika mengatakan, naiknya dana transfer ke daerah sebenarnya menjadi kabar baik bagi perekonomian daerah.

                \"Sayangnya, kabar baik itu hilang karena inefisiensi penggunaan dana, terutama besarnya pos anggaran untuk gaji pegawai,\" ujarnya dalam diskusi di Jakarta kemarin (16/10).

                INDEF mencatat, dari seluruh provinsi, kabupaten, dan kota, alokasi terhadap belanja pegawai mencapai Rp 261,15 triliun atau memakan porsi 42,33 persen transfer daerah pada APBNP 2012. Sementara, alokasi belanja modal hanya sebesar Rp 137,43 triliun atau 22,28 persen.         \"Padahal, belanja modal inilah yang harusnya ditambah karena mampu memberikan efek pertumbuhan ekonomi yang lebih besar,\" katanya.\"

                Gambaran lainnya, sebagian dana perimbangan daerah yang diberikan pemerintah pusat ke pemerintah daerah, lebih banyak dalam bentuk Dana Alokasi Umum (DAU), yakni sebesar Rp 311,19 triliun, di mana 70 persen DAU tersebut habis untuk belanja birokrasi. Sedangkan Dana Alokasi Khusus (DAK) infrastruktur jalan hanya Rp 4,37 triliun dan DAK irigasi Rp 1,6 triliun. \"Jadi, timpang sekali,\" ucapnya.

                Bagaimana dengan RAPBN 2013? Sebagaimana diketahui, dalam RAPBN 2013, pemerintah mengusulkan dana transfer daerah Rp 518,9 triliun atau naik Rp 40,1 triliun dibandingkan anggaran 2012. Namun, porsi belanja pegawai di daerah masih besar.

                Menurut Erani, pemerintah dan DPR harus mengubah haluan kebijakan dalam transfer daerah. Sebab, setiap tahun, masalah yang muncul selalu sama, tidak ada terobosan untuk mempercepat pembangunan daerah-daerah miskin. \"Kebijakan hanya normatif, tidak jauh berbeda dengan kebijakan tahun-tahun sebelumnya,\" ujarnya.

                Lalu, apa yang bisa dilakukan? Erani menyebut, pemerintah pusat mesti mendorong pemerintah daerah untuk melakukan rasionalisasi jumlah pegawai negeri sipil (PNS) di daerah. Hal itu bisa dilakukan melalui moratorium penerimaan PNS baru, atau tawaran pensiun dini.     \"Saya yakin, jumlah pegawai di daerah sudah terlalu banyak dan produktifitas rendah. Jadi, itu dulu yang harus dioptimalkan,\" katanya.\"

                Selain itu, lanjut dia, pemerintah pusat bersama DPR juga bisa menggodog regulasi untuk memberikan batas alokasi anggaran untuk belanja pegawai yang diambilkan dari dana transfer daerah. \"Memang, itu akan membuat APBD lebih rigid (kaku), tapi bisa dicoba,\" ucapnya.

Ekonom Didik J. Rachbini menambahkan, selain di daerah, pemerintah pusat juga harus mengoptimalkan produktifitas PNS di pusat. Jika tidak, maka besarnya anggaran belanja pegawai di pusat dan daerah akan menjadi candu yang akan menjerat APBN. \"Kesannya, APBN ini adalah duit bersama, jadi dihabiskan saja beramai-ramai, na\"f sekali,\" tegasnya.

(owi) 

Tags :
Kategori :

Terkait