Potensi Ekonomi Bambu

Rabu 31-10-2012,00:00 WIB
Oleh:

di pinggir kali, khususnya belimbing. Sementara, batang bambu telah banyak digunakan sebagai bahan-bahan

bangunan dan alat-alat musik. Di daerah Ciomas, Bogor, saya bertemu Komjen (pur) Polisi Didi Widayadi yang

aktif menanam bambu. Bahkan, mantan kepala BPKP yang juga seniman ini berhasil meramu batang-batang dan

anyaman bambu (Bambubos.com) yang mampu tahan lama. Setelah diolah, batang-batang bambu dapat di pakai 30-40 tahun tanpa mengalami gangguan.

Di daerah Cibinong juga ada budayawan Sunda, Jatnika, yang dikenal sebagai arsitek Rumah Bambu. Jatnika bu kan hanya piawai mendesain rumah, melainkan juga menulis sejarah bambu. Di Bandung, Saung Angklung Ujo mampu mempekerjakan ribuan orang untuk membuat angklung. Bahkan, ratusan remaja dididik menjadi musisi

angklung. Setiap hari, diperkirakan 500 turis datang menyaksikan performasi Saung Angklung Ujo. Namun, mereka juga gelisah karena bahan baku bambu mulai sulit didapat.

Ini belum termasuk potensi ekonomi kerakyatan lain, seperti kursi-kursi bambu, kerajinan asbak, kap lampu,

gedek, dan sebagainya. Bahkan, sebuah de a di Jember, yang orang-orang tuanya sibuk bekerja sebagai TKI, bambu telah mampu berperan sebagai ”teman” bagi anak-anak dan remaja. Cici Farha, anggota Asosiasi Kewirausahaan Sosial Indonesia, membentuk kelompok bermain Tanoker (yang dalam bahasa Madura berarti kepompong) dengan egrang bambu sebagai mediumnya. Kini festival egrang yang diperkenalkan Cici telah menjadi ikon ke-3 kota Jember (Le dokombo) setelah Jember Fashion Festival dan kuliner khasnya.

Benturan Ekonomi

Partisipasi ekonomi masyarakat yang berwatak sosial di Barat disebut sebagai ekonomi sektor ke-3. Dari pengalaman saya sebagai penggerak Rumah Perubahan, musuh terbesar ekonomi kerakyatan sebenarnya bukanlah kapitalisme (ekonomi sektor kedua), melainkan korupsi dan conflict of interest di sektor pertama (pemerintah dengan APBN dan APBD).

Di tepi bantaran Banjir Kanal Timur, anak-anak pohon bambu setinggi sekitar satu meter yang ditanam rakyat

jelata dengan mudah digusur paksa aparat-aparat pemda, kalau di antara mereka melihat tepi sungai lebih sebagai ”wilayah kekuasaan” yang berpotensi mendapatkan rente dari proyek-proyek. Tentu saja pemerintah berhak memba

ngun dan mengatur, tetapi hanya pemerintah zalimlah yang telinganya tersumbat dan matanya tertutup. Di era ekonomi kerakyatan, saya dapat memastikan tanpa partisipasi rakyat dalam perubahan, pembangunan ekonomi akan sia-sia. Saya mengerti BKT ada penguasanya, dan saya mengerti pula di sana ada proyek-proyek yang

bisa membuat aparat tersumbat telinganya.

Tulisan ini ditujukan untuk membukakan mata sahabat-sahabat yang mendapat amanah mengendalikan sektor pertama agar bisa ”melihat” dan ”mendengar” desiran angin dari gemersik daun-daun bambu partisipasi

ekonomi kerakyatan. (*)

Tags :
Kategori :

Terkait