Mulai koperasi, perusahaan investasi, dan perusahaan sekuritas. Dua perusahaan yang disebutkan di akhir itu yang juga biasa disebut dengan shadow banking. Sebagian besar bentuk investasi tersebut adalah multilevel marketing (MLM), valuta asing, arisan berantai, dan investasi perdagangan suatu komoditas. Kasus tersebut hampir selalu terjadi setiap tahun. Dan tak hanya satu atau dua yang akhirnya mencuat.
Sejumlah kasus yang pernah terjadi di antaranya Java Lintas Niaga yang berbentuk MLM pada 2006 dengan kerugian nasabah mencapai Rp 70 miliar, investasi valuta asing Gama Smart Karya Utama pada 2007, dengan total kerugian Rp 12 triliun. Dan yang sempat menghebohkan investasi bisnis daging Koperasi Langit Biru,dengan kerugian nasabah mencapai Rp 6 triliun.
Kemudian, ada beberapa investasi yang gagal bayar produk kontrak pengelolaan dana (KPD), antara lain PT Antaboga Delta Sekuritas yang menurut nasabahnya dirugikan hingga Rp 1,2 triliun.
”Untuk shadow banking, pengawasannya mungkin masih bisa berharap kepada otoritas jasa keuangan (OJK).
Misalnya harus verifikasi data perusahaan lebih ketat. Bank sebagai agen penjual juga diawasi agar tidak jual sembarangan. Nah, kalau koperasi, siapa yang akan mengawasi?,” kata dia. Sampai saat ini, belum ada suatu badan pengawasan dibentuk untuk mengawasi investasi yang dilakukan koperasi. OJK pun, kata Eko, tidak bisa mengawasinya. Sedangkan penindakan terhadap koperasi yang menjual investasi bodong juga tidak bisa sembarangan. Karena mereka memiliki kontrak perdata dan yang terpenting tidak dijamin pemerintah.
Oleh karena itu, untuk mengantisipasi ulah penjual investasi bodong, sambungnya, hanya bisa dilakukan dengan ketelitian dan kewaspadaan masyarakat. Terutama, mereka yang baru akan bermain menjadi investor. Kewaspadaan itu sebenarnya mudah dilakukan karena ada beberapa ciri yang membedakan investasi bodong dengan investasi profesional. Misalnya, harus dilihat dari suku bunga yang ditawarkan. Jika suku bunga cukup tinggi dengan janji-janji keuntungan cukup besar, maka bisa disinyalir itu adalah investasi bodong.
”Tidak ada satupun investasi yang bisa menjanjikan keuntungan pasti. Kalau ada yang berani menjanjikan itu, maka patut dicurigai,” kata dia.
Selain itu, juga perlu dilakukan cek izin usaha, termasuk otoritas izin yang mengeluar-kannya, produk yang dijual, dan pihak yang menjual, lalu mempelajari dokumen perjanjian investasi. Hal itu penting, apalagi ia melihat karakteristrik investor di Indonesia bermental penabung, hanya mau untung,tanpa memikirkan suatu saat bisa rugi.
”Pertumbuhan orang kaya di negeri ini cukup pesat, sekitar 33 persen. Bahkan jenis simpanan di bank dengan nominal Rp 5 miliar ke atas cukup mendominasi, hingga 42,34 persen. Mereka ini pastinya juga ingin bermain investasi. Maka cari lembaga yang benar,” katanya.
Pengamat hukum, Mahendradatta mengungkapkan, hingga saat ini penanganan kasus atas investasi bodong masih alakadarnya. Alias belum ada yang mencari dan mengusut hingga ke pelaku utama dan akar-akarnya. Kalaupun diseret ke pengadilan, vonis hukumannya sangat ringan dan tak sebanding dengan kejahatan yang diperbuatnya.
Misalnya dalam kasus PT Antaboga Delta Sekuritas, pemilik dan pengelolanya, Robert Tantular hanya divonis empat tahun dan denda Rp 50 miliar. Kondisi itu sangat jauh berbeda dengan penegakan hukum di Amerika Serikat. Di mana seorang pencuri dana investor bisa diganjar kurungan 100 tahun lebih. ”Kalau kondisinya masih seperti ini,maka ya tinggal mengucapkan selamat datang bagi perusahaan investasi bodong lainnya,” ucap Mahendradatta menyindir.
(cr4/ria/mas)