JAKARTA- Alarm perdagangan internasional Indonesia terus menyala. Ini tak lepas dari defisit negara perdagangan yang kian melebar.
Deputi bidang Statistik Distribusi dan Jasa Badan Pusat Statistik (BPS) Sasmito Hadi Wijoyo mengatakan, sepanjang November 2012, nilai ekspor naik dan nilai impor turun. “Sebenarnya bagus, tapi agregatnya (nilai ekspor dikurangi nilai impor) masih minus, sehingga akumulasi defisit neraca perdagangan (Januari-November 2012) kini mencapai USD 1,3 miliar,” ujarnya kemarin (2/1).
Data BPS menunjukkan, sepanjang November 2012, nilai ekspor mencapai USD 16,44 miliar, yang terdiri dari ekspor migas USD 2,70 miliar dan ekspor nonmigas USD 13,73 miliar. Angka tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan total ekspor pada Oktober yang hanya USD 15,32 miliar. Secara akumulasi, nilai ekspor Januari hingga November 2012 sebesar USD 174,76 miliar, lebih rendah dibanding periode sama tahun lalu yang mencapai USD 186,41 miliar.
Dari sisi negara tujuan ekspor, Tiongkok menjadi pasar utama ekspor nonmigas Indonesia dengan nilai USD 2,07 miliar pada November 2012. Berikutnya, Jepang USD 1,50 miliar, Singapura USD 1,23 miliar, Amerika Serikat USD 1,17 miliar, dan India USD 1,14 miliar. “India menjadi pasar ekspor potensial yang baru, terutama untuk produk CPO (crude palm oil),\" kata Hadi.
Sementara itu, nilai impor sepanjang November 2012 tercatat sebesar USD 16,92 miliar, yang terdiri dari impor migas USD 4,06 miliar dan impor nonmigas USD 12,85 miliar. Impor tersebut lebih tinggi dibandingkan angka Oktober 2012 yang mencapai USD 17,20 miliar. Secara akumulasi, nilai impor Januari hingga November 2012 mencapai USD 176,09 miliar, lebih tinggi dibanding periode sama tahun lalu yang sebesar USD 160,96 miliar.
Dari sisi negara asal barang impor. Tiongkok menjadi negara yang produknya paling banyak membanjiri Indonesia dengan nilai USD 2,49 miliar pada November 2012. Lalu, Jepang USD 1,77 miliar, Amerika Serikat USD 1,00 miliar, dan Thailand USD 937,3 juta. “Dari Amerika, sebagian impor adalah pesawat terbang dan suku cadangnya. Sedangkan dari Thailand, sebagian impor adalah mobil,” jelas Hadi.
Kepala BPS Suryamin menambahkan, dari sisi volume, sebenarnya ekspor Indonesia masih mencatat kenaikan, misalnya untuk produk CPO maupun batu bara atau bahan mineral lainnya. “Tapi, karena harganya turun, maka nilainya ikut turun,” ujarnya.
Menurut Suryamin, meski ada lonjakan impor, namun tetap ada sisi positif. Ini terkait dengan turunnya impor barang konsumsi, sedangkan impor bahan baku/penolong dan barang modal naik signifikan. “Artinya, impor dilakukan untuk kegiatan produktif yang akan berimbas pada naiknya kapasitas perekonomian nasional,” ucapnya.
(jpnn)