Selain itu, untuk menerapkan Perda ini, koordinasi antara pemerintah dan pihak kepolisian juga perlu ditingkatkan.
“Lalu sarana dan prasarana, kesiapan SDM di lapangan, harus sosialisasi kepada pengusaha perlu dipersiapkan. Oleh karenanya, perlu dilakukan persiapan untuk dilaksanakan,” katanya saat menjelaskan, penundaan pengimplementasian Perda ini yang kembali diundur hingga April mendatang seraya menyebutkan, Perda ini bisa efektif dilaksanakan pada April mendatang, dengan catatan, kelemahan Perda ini harus diperbaiki.
Dikatakannya, sebelum Perda ini disahkan dan diundangkan menjadi lembaran daerah, Perda ini sudah diharmonisasi dengan biro hukum Kemendagri. “Makanya berani disahkan menjadi Perda,” tandasnya.
Diungkapkannya, royalti yang didapatkan pemerintah dari usaha Batubara ini, dibandingkan dengan dampak yang diakibatkan kegiatan Batubara ini memang tak setimpal. “Royalti yang diterima pemerintah Provinsi Jambi hanya Rp 45 Miliar per tahun. Tak sebanding dengan kerusakan jalan yang diakibatkan hingga ratusan miliar rupiah,” ungkapnya.
Sementara itu, Kepala Dinas ESDM Provinsi Jambi, Azwar Effendi, di dalam diskusi itu menerangkan, potensi Batubara Jambi tidaklah besar. Ini, jika dibandingkan dengan potensi Batubara di daerah lain, seperti Kalimantan Selatan dan juga Sumatera Selatan yang mencapai 47 persen potensinya. “Barulah 10 persennya itu ada terbagi di Jambi, Jawa, Sulawesi dan Irianjaya. Jadi potensi Batubara Jambi itu tak terlalu besar,” ujarnya.
Dikatakannya, berdasarkan data eksploitasi yang dimiliki pihaknya, cadangan Batubara Jambi yang bisa digarap saat ini di Jambi, hanya sebesar 2, 2 milair ton. “Itu potensi yang bisa digali dan dimanfaatkan di Jambi,” tukasnya.
Disampaikannya juga, dari sebanyak 375 perusahaan tambang Batubara yang memegang izin, hingga saat ini, hanya 261 diantaranya yang masih melakukan kegiatan eksploitasi Tambang Batubara.
“Krisis ekonomi global menyebabkan harga Batubara menurun, sehingga membuat perusahaan juga banyak yang tak beroperasi,” ungkapnya.
Dikatakannya, Batubara Jambi, juga lebih banyak yang diekspor. Jika dibandingkan dengan Batubara yang memang dimanfaatkan sendiri oleh daerah Jambi. “70 persennya itu diekspor. 30 persen lainnya baru digunakan untuk berbagai kegiatan di Jambi,” tandasnya seraya mengatakan, menurunnya harga Batubara yang menyebabkan menurunnya produksi Batubara itu sendiri.
Apit Aris, Kabid Bina Marga Dinas PU Provinsi Jambi, dalam kesempatan itu menyampaikan, anggaran yang dialokasikan untuk memperbaiki ruas jalan di provinsi Jambi, senilai Rp 7 Miliar per kilometer. Dikatakannya, berdasarkan undang-undang nomor 34 tahun 2008, jalan itu tergolong kepada 2 golongan, yakni jalan khusus dan jalan umum.
“Ruas jalan kita kapasitasnya kurang lebih 8 ton. Sementara muatan Batubara dan CPO sendiri lebih dari kapasitas jalan. Sehingga, hal itu memicu tingkat kerusakan jalan yang semakin besar. Apalagi dibandingkan dengan royalti yang diberikan Batubara ini hanya sedikit, hanya senilai Rp 45 Miliar setahun. Sementara anggaran yang diposkan untuk jalan sendiri baik dari anggaran APBD murni Provinsi Jambi, APBDP dan juga anggaran pusat, dalam setahun bsia mencapai Rp 1 Triliun,” ujarnya.
Oleh karenanya, katanya, dengan diberlakukannya Perda itu nantinya, perusahaan tambang Batubara bisa membangun jalan khusus atau lewat jalur sungai.
(wsn)