ADRI SH, MH, General Manajer PT OSO Group menilai, Perda nomor 13 tahun 2012 itu belum tepat untuk dibuat. Dirinya mengatakan, pembuatan Perda itu terkesan tergesa-gesa. Menurutnya, sebelum adanya Perda nomor 13 tahun 2012 ini, pemerintah Provinsi, yakni Sekda Provinsi Jambi sudah mengeluarkan surat edaran pembatasan
“Dulu ada surat edaran Sekda soal itu. Namun sampai saat ini surat edaran itu kan belum dicabut, sehingga rancu dibuatnya Perda nomor 13 tahun 2012 ini. Harusnya dicabut dulu surat edaran itu, baru dibuat Perda dan ditetapkan lagi. Jangan langsung ditetapkan. Kan semuanya menjadi rancu,” tandasnya.
Dijelaskannya, dalam Perda itu, juga terdapat diskriminasi menurutnya. Pasalnya, untuk usaha Batubara di kawasan Bungo dan Tebo, dibolehkan untuk melewati jalan. Sementara, di Kabupaten Sarolangun, Merangin, Batanghari dan Muaro Jambi tidak dibolehkan untuk melewati jalan, harus melewati sungai.
“Ini kan ada diskriminasi. Selain itu, perda moratorium itu membuat ragu investor untuk berinvestasi di Jambi. Lagi pula, dalam perda ini juga tak tegas batasannya sampai kapan,” ujarnya seraya mengatakan, untuk mengimplementasikan Perda ini sangat lemah.
“Apa output yang diharapkan dengan Perda ini, kan tidak jelas. Apakah kerusakan jalan saja yang ingin diminimalisir. Perda ini diskriminatif,” tukasnya.
Oleh karenanya, menurutnya, yang juga mengaku pada 2012 lalu masih berstatus sebagai tim advokasi Gubernur Jambi, Perda ini perlu direvisi kembali. “Banyak waktu untuk merevisi Perda ini. Jangan sampai ada diskriminasi. Lagi pula, saya saat itu, selaku tim advokasi Gubernur, tak pernah diundang untuk membahas hal ini. Padahal, saya mempunyai kewajiban memberikan masukan kepada Gubernur untuk membahas Perda ini. Karena memang domain kita seperti itu. Saya selaku tim advokasi harusnya memberikan masukan karena asya tim advokasinya,”ungkapnya.
Dia menilai, timbulnya Perda ini hanya untuk meredam apa yang menjadi tuntutan masyarakat. Artinya, pemerintah Provinsi hanya mencari aman. Ketika ditanyakan apa yang telah dilakukan untuk mengatasi soal Batubara ini, maka jawabannya, Pemprov mengaku sudah mengeluarkan Perda.
Sementara DR Pantun Bukit, pengamat ekonomi Jambi, menjelaskan, dampak dari moratorium ini kepada perekonomian Jambi memang sangat besar. Terutamanya, terhadap investor yang pastinya merasa tak aman untuk melakukan investasi di Jambi.
“Saya tidak mau mengatakan untung rugi. Saya menilai, dari sisi persepsi, jika suasana investasi di Jambi tak kondusif seperti saat ini, kota kita akan menjadi seperti kota mati. Karena, tak ada investor yang mau ikut membangun Jambi. Sementara investasi dari APBD itu hanya sebesar 40 persen dari APBD. Lainnya untuk isi perut, seperti perjalanan dinas, beli mobil dan lain sebagainya,” tukasnya.
Dikatakannya, dari investasi lah, pengurangan pengangguran bisa dilakukan. “Sebab, usaha swasta lah yang terbanyak menyerap tenaga kerja. Emmang kita di pemerintah ada juga menyrap, tapi hanya berapa persen lah yang bisa diserap,” ungkapnya.
Dirinya juga menilai, kontribusi yang diberikand ari sektor Batubara juga cukup besar. Hanya saja, masalahnya, siapa yang saat ini menikmati hasil itu. “Penerapan Perda ini penuh dengan kontradiksi. Soal kualitas jalan juga bermasalah. Dengan lewatnya angkutan Batubara contohnya, siapa yang dirugikan? Jelas mayakarat,” katanya.
“Salah satunya, waktu tempuh tentu bertambah jauh. Yang awalnya Jambi-Sarolangun hanya 3 jam saat ini bisa sampai 3, 5 jam. Itu kan karena jalan yang rusak,” tambahnya.
Sementara itu, jika memang moratorium dilakukan, atau bisa dikatakan aktivitas Batubara dihentikan, maka dampaknya akan sangat berpengaruh dengan investasi. “Kalau gaungnya sampai ke nasional, Jambi tak kondusif untuk investasi, maka pengaruhnya tentu sangat besar. Ini tentunya akan merugikan ekonomi Jambi,” terangnya.
(wsn)