Dengan demikian, Partai politik yang tidak memenuhi ketentuan keterwakilan perempuan minimal 30 persen dari calon legislative di suatu daerah pemilihan (Dapil) dinyatakan tidak memenuhi syarat untuk ikut Pemilu 2014 di Dapil tersebut. Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa syarat keterwakilan perempuan minimal 30 persen di daftar caleg sudah diatur dalam UU Pemilu legislatif. Jadi tidak ada alasan lagi bagi partai untuk tidak memenuhinya. KPU sebagai penyelenggara hanya menjalankan amanah yang sudah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan.
Ketentuan tersebut merupakan tantangan yang tidak ringan bagi partai politik. Partai politik dituntut untuk lebih gencar dan terbuka guna mengakomdir aspirasi kaum hawa dalam pencalonan legislative. Tantangan tersebut akan semakin terasa pada proses pencalegan di tingkat kabupaten/kota karena mengajak dan memotiasi perempuan untuk berpolitik tidak semudah yang dibayangkan. Resistensi dari sebagian warga untuk maju sebagai caleg tetap ada, apalagi cost politik masih terkesan tinggi. Semua itu sering menjadikan perempuan bersikap skeptis terhadap dunia perpolitikan.
Upaya memenuhi kuota 30 persen perempuan untuk calon anggota legislatif, secara empirik dan faktual terdapat kendala yang menyebabkan keterwakilan perempuan di DPR sangat rendah. Diantara kendala di lapangan adalah masih adanya anggapan bahwa dunia politik adalah dunianya laki-laki, di mana sistem dan struktur sosial patriakhi telah menempatkan perempuan pada posisi yang tidak sejajar dengan laki-laki, dan masih sedikitnya perempuan yang terjun kedunia politik serta rendahnya pengetahuan perempuan tentang politik. Disamping itu, bisa jadi dukungan partai politik yang belum besungguh-sungguh terhadap perempuan. Namun demikian, dengan adanya “keharusan” menyertakan daftar bakal calon anggota legislatif memuat paling sedikit 30 persen perempuan patut disyukuri. Sebetulnya, publik berharap kehadiran perempuan bukanlah sekadar memenuhi persyaratan adminsitrasi pada pendaftaran caleg tetapi lebih dari itu yakni tercapainya sekurang-kurangnya 30 persen dari keanggotaan legislative (DPR, DPRD) dari perempuan.
Pengalaman sejarah Pemilu menunjukan bahwa tindakan afirmatif yang digerakan secara lebih kencang sejak adanya reformasi menunjukan suatu peningkatan. Bila persentase perempuan dalam komposisi DPR pada periode 1999-2004 sebesar 9.0 persen meningkat menjadi 11,82 persen pada keanggotaan DPR periode 2004-2009. Tentu kita berharap pasca Pemilu 2014 kuota perempuan bisa terpenuhi secara proporsional. Semoga!
Penulis adalah dosen tidak tetap STISIP Nurdin Hamzah, Jambi.