Monumen PD II, Ingatkan Manusia Tentang Kekejaman Perang

Selasa 19-02-2013,00:00 WIB

M NASARUDDIN ISMAIL

Sebuah monumen berbentuk bibir gua, nampak bertengger di Desa Perai, pinggir kota Biak. Jaraknya, hanya sekitar 15 menit perjalanan mobil dari kota yang direncanakan untuk dibangun Pangkalan Armada TNI Angkatan Laut tersebut.

Monumen yang diresmikan pada 24 Maret 1994 itu, untuk mengingatkan kembali peristiwa yang merenggut sekitar 3000 jiwa serdadu Jepang, yang tewas akibat kekejaman teentara sekutu. Monumen ini, merupakan hasil kerja sama antara pemerintah Indonesia dan Jepang.

Untuk memudahkan setiap pengunjung, prasastinya terdiri dari tiga bahasa. Yaitu, bahasan Indonesia, bahasa Jepang dan bahasa Inggris. Tiga prasasti tersebut, ditempelkan pada tembok monumen, dengan tempat yang terpisah. Yang paling kiri bahasa Indodnesia, lalu di teengah bahasa Jepang, dan paling kanan bahasa Inggris.

Monumen ini agak antik. Bentuknya menyerupai mulut gua yang dibom tentara sekutu yang menewaskan ribuan serdadu Jepang itu. Karena menyerupai lubang gua, bentuknya pun melengkung. Bagian tengah, kira-kira tingginya sekitar tiga meter, dan lebar sekitar 20 meter. \"Bentuk monumen ini, sama dengan mulut Gua Jepang yang di atas sana,\" cerita Kostan Kaibor, penjaga monumen tersebut.

Di bawah monumen yang melengkung tersebut terdapat tiga meja panjang yang terbuat dari semen beton. Lengkap dengan bangkunya masing-masing. Salah satunya menyerupai telapak kaki manusia. Hanya saja, ukuranya cukup besar pula. “Meja ini bentuknya menyerupai telapak kaki, yang menggambarkan pertama kali tentara Jepang yang menginjakkan kakinya di sini,’’ tambah Kostan Kaibor lagi, sembari mengajak koran ini untuk keliling monumen itu.

Monumen ini ditembok keliling. Di sebelah barat, setinggi badan orang dewasa. Sedangkan sebelah timur, tingginya lebih dari dua meter. Pada tembok tersebut, nampak tulisan Monumen Perang Dunia ke II yang cukup besar. Di bawahnya menggunakan bahasa Jepang dan Inggris. Di belakangnya, terdapat sebuah ruangan yang menyerupai gua pula.

Di dalamnya berisi tempat penyimpanan abu, hasil pembakaran tulang- belulang serdadu yang terpanggang di dalam gua tersebut. Dulu, setiap wisatawan Jepang yang datang ke sana, mencari tulang-belulang yang ada di dalam gua. Ada yang menemukan cincin, brevet serdadu, serta tulang belulang yang berserakan.

Tulang-tulang itulah yang dibakar oleh keluarganya, lalu abunya di simpan di dalama ruangan sempit yang menyerupai gua tersebut. Di duga, masih banyak, tulang belulang di dalam gua yang ditengarai panjangnya sekitar lima kilometer tersebut.

Tempat ini menjadi obyek wisata yang banyak dikunjungi orang-orang Jepang. Ada yang membawa foto-foto keluarganya yang hilang dan diduga meninggal di gua itu. Ada juga yang mengaku pernah menjadi serdadu Jepang pada saat itu. Dia hidup, karena tertangkap sekutu di Biak. Mereka dilepas, setelah Hirosima dijatuhkan bom atom oleh sekutu.

Beberapa foto anak-anak, juga nampak diletakkan di dalam ruangan berukuran sekitar satu setengah meter dengan panjang sekitar 10 meter itu. Setiap wisatawan yang datang ke sana, dipandu untuk melihat ruangan kecil itu oleh Kostan Kaibor, penjaga monumen yang rumahnya berdempetan dengan tembok monumen.

Dii pinggir pagar monumen itu, terdapat lubang gua. Kini ditumbuhi pohon dan semak-semak, sehingga tak terlihat lagi lubangnya Bila ditelusuri, hujung gua  menembus ke lubang gua yang dibombardir tentara sekutu itu.

Museium lainnya dibuat oleh Yusuf Rumaropen di ruang tamunya yang berada di Gua Jepang. (naca juga Gua Jepang Minggu). Di tempat ini, banyak benda-benda peniggalan serdadu Jepang yang dia koleksi. Misalnya, tiga pucuk pistol yang sudah berkarat, berikut empat butir peluru,  dua bayunet dengan model berbeda yang sudah berkarat pula. Juga nampak ratusan kelongsongan peluru senejataa laras panjang. Semuanya diletakkan dengan rapi di dalam lemari kaca. Dua jaket dan dua potong celana yang digantun di lemari kaca lainnya.

Di sebelahnya terdapat sebuah foto tulang belulang manusia. Dari bentuknya yang lurus dan panjangnya sekitar 30 cm, diduga tulang kaki, ada juga foto kegiatan pembakaran tulang belulang oleh keluarganya yang datang dari Jepang. Sedangkan di atas meja tamu, nampak  tiga buah helm, sebuah topi perwira, satu topi kelasi Angkatan Laut, satu topi hijau Angkatan Darat, serta tutup kepala driver tank atau pilot, lengkap dengan kaca mata.

Meski tak digaji pemerintah, namun, Yusuf sengaja mengkoleksi benda-benda peninggalan tentara Jepang di ruang tamunya, agar pengunjung di sana, mengenang peristiwa yang memilukan tersebut. Beberapa foto prajurit Jepang yang disimpan oleh keluarganya yang datang dari negeri sakura, ditempelkan di tembok rumah sederhana itu. (habis).

Tags :
Kategori :

Terkait