YANGON – Kerusuhan di Kota Meiktila, bagian tengah Myanmar, kembali bergolak. Jam malam dan status darurat yang berlaku di kota yang terletak di Provinsi Mandalay itu belum mampu menghentikan kekerasan. Kemarin (24/3) konflik sektarian itu dilaporkan justru meluas ke beberapa kota lain di provinsi yang sama.
Sebuah masjid dan tidak kurang dari 50 rumah dilaporkan hangus terbakar akibat aksi kekerasan di Kota Yamethin, sekitar 55 kilometer dari Meiktila, Sabtu malam (23/3) dan dini hari kemarin. ’’Sebagian besar rumah yang menjadi sasaran aksi pembakaran adalah milik warga muslim,’’ kata salah seorang pejabat kota.
Tetapi, kekerasan di kota yang terletak tak jauh dari Kota Naypyidaw, ibu kota Myanmar, itu tidak sampai membawa korban jiwa. ’’Sebelumnya, insiden seperti ini tidak pernah terjadi di sini,’’ sesal pejabat yang tidak mau menyebutkan namanya tersebut.
Demi mencegah meluasnya aksi sektarian di Yamethin, aparat keamanan langsung menangkap sejumlah tersangka. Kementerian Informasi Myanmar melaporkan bahwa polisi telah menciduk 52 orang yang membawa senjata. Sebanyak 13 di antaranya adalah warga asal Meiktila.
Selain di Yamethin, kerusuhan juga terjadi di Kota Lewei, sekitar 130 kilometer selatan Meiktila. Di kota tersebut, sekelompok orang membakar sebuah masjid dan sejumlah bangunan. Namun, tidak ada laporan soal jatuhnya korban jiwa maupun luka dalam insiden itu.
Aksi kekerasan yang sebenarnya bermula dari perselisihan biasa, dan tak terkait dengan agama atau keyakinan apapun, itu telah merenggut sedikitnya 32 korban jiwa dalam tiga hari terakhir. Berawal dari perselisihan di sebuah toko emas milik warga Muslim di Meiktila, sekitar 130 kilometer utara Naypyidaw atau sekitar 550 kilometer utara Yangon, ratusan komunitas Buddha dan Muslim kemudian terlibat bentrok di jalanan.
Pemerintah sebetulnya telah memberlakukan jam malam dan bahkan juga status darurat untuk mencegah meluasnya konflik di Meiktila tersebut. Tetapi, aksi pembakaran tidak berhenti. Kebanyakan korban kekerasan itu adalah warga Muslim, minoritas di Myanmar.
Kemarin, utusan khusus PBB Vijay Nambiar berkunjung ke Myanmar. Nambiar sengaja melihat langsung Meiktila yang menjadi ajang kerusuhan sektarian sejak Rabu lalu (20/3). Dalam lawatannya kemarin, Nambiar menyaksikan kerusakan yang terjadi di kota paling strategis di Provinsi Mandalay itu.
’’Penting (bagi pemerintah) untuk memburu para pelaku kekerasan, menangkap mereka, dan kemudian memberikan hukuman,’’ desak diplomat asal India tersebut. Penasihat khusus sekjen PBB untuk Myanmar itu pun mengimbau Presiden Thein Sein dan jajaran pemerintahannya untuk bertindak tegas.
Selain meninjau lokasi kekerasan, Nambiar mengunjungi ribuan warga Meiktila yang tinggal di tempat pengungsian. Mereka sengaja meninggalkan tempat tinggal mereka untuk berlindung di stadion atau kuil dan biara yang dijaga ketat aparat. ’’Saya bisa merasakan kecemasan dan ketakutan di antara para pengungsi. Tapi, sama sekali tak ada kebencian di sana,’’ ungkapnya seusai bertemu para pengungsi.
Dalam kesempatan itu, Nambiar mengungkapkan bahwa kekerasan yang terjadi di Meiktila dan lantas merembet ke Yamethin maupun Lewei itu berasal dari ’’luar’’. Dia yakin warga Myanmar tak menginginkan perpecahan. Buktinya, warga yang sama-sama menjadi korban amuk massa tetap saling menolong tanpa peduli latar belakang agama.
’’Mereka (para pengungsi) sama-sama merasa bagian dari masyarakat. Ini hal yang positif karena selama ini mereka telah hidup berdampingan dan saling bekerja sama,’’ lanjut tokoh 70 tahun tersebut. Selain muslim yang merupakan bagian dari masyarakat minoritas di Myanmar, puluhan warga Meiktila yang beragama Buddha menjadi korban kerusuhan.
Kemarin surat kabar pemerintah Myanma Ahlin berusaha menyejukkan situasi dengan menerbitkan seruan damai dari para pemuka agama. Selain rohaniwan Islam dan Buddha, tokoh-tokoh Kristen dan Hindu ikut ambil bagian. ’’Kami mengimbau pemerintah segera mengamankan keadaan dan mengerahkan aparat dalam jumlah cukup untuk melindungi masyarakat,’’ seru mereka.
Para pemuka agama yang tergabung dalam Organisasi Persaudaraan Antargama (IFO) tersebut mengungkapkan keprihatinan mereka atas jatuhnya banyak korban akibat aksi sektarian yang bermula di Meiktila itu. Selain korban jiwa, masyarakat harus menanggung kerugian materi yang tidak sedikit. Para rohaniwan IFO itu berharap kerusuhan tidak akan meluas lagi.
Dalam pernyataan gabungan pertama pasca-pecahnya kerusuhan di Meiktila, para tokoh IFO tersebut meminta bantuan bhiksu Buddha. Itu dimaksudkan agar kerusuhan tidak merembet ke kota-kota lain di Provinsi Mandalay. Karena sebagian besar warga Myanmar beragama Buddha, IFO yakin seruan dari para bhiksu akan lebih didengarkan oleh masyarakat.