AKHIR-akhir ini merik sekali melihat tingkah polah para pejabat negeri ini, khususnya di Kota Jambi yaitu akal-akalan penggunaan Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi. Sama-sama diketahui bahwa berdasarkan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) No. 1 Tahun 2013 bahwa mobil dinas (pelat merah) tidak dibenarkan menggunakan BBM bersubsidi dan wajib menggunakan pertamax. Yang dimaksud kendaran dinas tersebut dijelaskan pada Pasal 1 Permen ini adalah semua jenis kendaraan bermotor yang dimiliki atau dikuasi oleh instansi pemerintah, pemerintah provinsi dan pemerintah kota dan kabupaten, BUMN dan BUMD. Ini artinya jelas bahwa tanpa pengecualian kendaraan-kendaraan ini harus ‘minum’ pertamax.
Namun faktanya, peraturan menteri yang sangat jelas ini dengan mudah diakali untuk dikangkangi oleh pejabat negeri ini. Kalau tidak pintar dan banyak akal tentu bukan pejabat. Sayangnya yang sering digunakan pejabat kita adalah akal bulus alias akal-akalan termasuk masalah yang satu ini. Harga pertamax dua kali lipat harga premium bersubsidi. Premium bersubsidi seyogyanya diperuntukkan untuk masyarakat kelas menengah sedangkan pertamax diperuntukkan untuk para pejabat dan pengusaha yang berkantong tebal. Namun ternyata di lapangan tidak demikian. Cobalah perhatikan modus-modus yang dilakukan pejabat kita agar dapat memanfaatkan BBM bersubsidi untuk mobil dinas mereka yang notabenenya sudah dibiayai oleh Negara.
Modus pertama, memasang pelat nomor bongkar pasang alias tidak permanen. Ini modus yang paling sering saya temui. Sang pejabat sengaja tidak mengunci pelat kendaraannya (nomor polisi) dengan baut/mur, tetapi bisa dibongkar pasang dengan mudah. Modusnya sudah dapat ditebak, sesaat sebelum mengisi bahan bakar pelat nomor yang berwarna merah diganti dengan yang berwarna hitam. Petugas SPBU pasti tidak mengenalinya. Setelah selesai pengisian BBM tidak jauh dari SPBU pelat langsung diganti dengan yang berwarna merah. Sebuah modus yang sangat cerdas. Tapi sayang kecerdasan yang sangat busuk. Tanpa disadari baru saja sang pejabat merampok hak rakyat kecil.
Modus kedua, menggunakan kendaraan lain. Biasanya para pejabat memiliki mobil pribadi. Jadi untuk membeli BBM cukup menggunakan mobil pribadi. Kemudian sesampai di rumah isi tanki mobil pribadi dipindahkan ke dalam tanki mobil dinas yang digunakan. Dan hal ini cukup dilakukan oleh sopir pribadi atau bahkan pejabat itu sendiri.
Modus ke tiga, dalih mobil pinjaman. Biasanya petugas SPBU memperingatkan kepada kendaraan pelat merah yang masuk antrian premium untuk pindah ke tempat pengisian pertamax. Sang pejabat tinggal bilang “maaf ini bukan mobil saya. Mobil bos. Saya cuma pinjam”. Biasanya petugas SPBU tidak punya hak untuk melarang atau menolak.
Mungkin masih banyak lagi modus-modus lain yang dilakukan oleh para pejabat negeri ini untuk melakukan kecurangan. Jamak kita dengar komentar mereka ‘peraturan dibuat untuk dilanggar”. Pelanggaran ini tentu melukai hati raknyat karena para pemakai pelat merah sudah mendapat anggaran operasional kendaraan berupa uang bensin dan perbaikan (maintenance). Sudah diberi fasilitas masih juga ‘merampok’ hak rakyat. Sampai kapan para pejabat negeri ini terus merampok rakyat dengan akal-akal busuk mereka?
Di sisi lain, kita juga harus bijak melihat bahwa sesungguhnya Peraturan Menteri ini harus dikawal dan disosialisasikan dengan baik oleh semua kalangan. Pada point ini, banyaknya modus modus yang dilakukan oleh para pejabat ini dikarenakan kurangnya pengawasan di lapangan. Di negeri ini peraturan tidak akan tegak jika tidak dilakukan pengawasan yang ketat disamping juga itikat baik para pembuat kebijakan untuk menegakkan aturan tersebut. Di beberapa daerah, gubernur dan bupati benar-menar menekankan hal ini. Para kepala daerah memberi contoh dengan baik agar para anak buahnya yang menggunakan mobil dinas untuk menggunakan bahan bakar non subsidi.
Hal ini yang mungkin belum terlaksana di bumi pucuk jambi Sembilan lurah ini. Belum terdengar ada sosialisasi yang intens kepada masyarakat. Belum terdengar gubernur dan para bupati/wali kota menegaskan bahwa mobil pelat merah tidak boleh menggunaka premium. Itikat para kepala daerah ini sangat berpengaruh terhadap penegakan hukum dan perundang-undangan. Seyogyanya gong kampanye ini harus ditabuh oleh Gubernur HBA dan diikuti oleh kepala daerah lainnya. Jangan-jangan BH 1 pun masih menghirup premium bersubsidi. Semoga tidak.