JAKARTA-Tren pertumbuhan utang luar negeri pihak swasta atau korporasi membuat pemerintah mengernyitkan dahi. Untuk meredam imbas negatifnya, pemerintah siap memperketat monitoring utang swasta.
Wakil Menteri Keuangan Mahendra Siregar mengatakan, mitigasi risiko utang swasta merupakan faktor penting dalam stabilitas keuangan Indonesia. “Kajian dan masukan sudah banyak, tinggal kita seriusi,” ujarnya kemarin (24/4).
Menurut Mahendra, pesatnya kenaikan utang luar negeri swasta dipicu oleh perekonomian Indonesia yang terus tumbuh. Hal itu mendorong perusahaan swasta untuk berekspansi mengembangkan bisnisnya. “Di sisi lain, pasokan kredit dari luar negeri juga tinggi,” katanya.
Sebagaimana diketahui, pemerintah harus memonitor utang swasta karena pemanfaatannya dapat menimbulkan berbagai risiko dan memicu krisis. Misalnya, salah satu penyebab parahnya imbas krisis moneter 1997 adalah banyaknya perusahaan yang memiliki utang dalam denominasi USD, namun pendapatannya kebanyakan dalam denominasi Rupiah. Akibatnya, ketika nilai tukar Rupiah anjlok, perusahaan kolaps karena tidak sanggup membayar utang.
Data menunjukkan, rasio utang swasta terhadap produk domestik bruto (PDB) yang mencapai kisaran 30 persen, kini memang sudah melampaui rasio utang pemerintah terhadap PDB yang di kisaran 23 persen.
Dari sisi nilai, pada akhir 2011, utang luar negeri swasta masih di kisaran USD 106,73 miliar, tapi per Januari 2013 sudah meningkat menjadi USD 125,05 miliar. Sedangkan utang luar negeri pemerintah yang pada 2011 sebesar USD 123,13 miliar, pada akhir 2012 hanya naik tipis menjadi USD 126,11 miliar.
Lantas apa yang akan dilakukan pemerintah? Mahendra mengatakan, saat ini Kementerian Keuangan tengah memfinalisasi sistem monitor utang swasta melalui instrumen aturan pajak. “Ini penting untuk transparansi. Kalau ada utang (luar negeri) harus jelas asal dan peruntukannya,” ucapnya.
Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Fuad Rahmany mengatakan, pemerintah akan menetapkan batas rasio utang terhadap ekuitas atau debt to equity ratio (DER) untuk kalkulasi perhitungan pajak. “Kan banyak perusahaan yang utangnya jor-joran, tapi kami belum bisa buka berapa besaran rasionya,” ujarnya.
Fuad mengakui, dalam beberapa kali forum konsultasi publik termasuk dengan pengusaha, kebanyakan pengusaha menolak rencana pemerintah itu. Namun, pemerintah tidak akan mundur. “Kalau tidak setuju, jangan asal tolak, tapi kita diskusi saja besaran rasionya,” katanya.
Mahendra menambahkan, instrumen aturan pajak terkait utang perusahaan itu memiliki dua manfaat. Pertama, untuk memonitor dan mengerem niat perusahaan yang ingin jor-joran dalam berutang. Ke dua, untuk meningkatkan penerimaan pajak. “Yang penting, jangan sampai tidak ada kendali sama sekali karena risikonya bagi sektor keuangan cukup besar,” jelasnya.
(owi)