JAKARTA – Rencana pemerintah untuk membagi SPBU seiring wacana kebijakan dua harga BBM bersubsidi rupanya memunculkan permasalahan baru. Pasalnya, mobil pribadi yang seharusnya tak lagi bisa masuk ke lokasi penjualan BBM harga Rp 4.500 masih punya alasan. Pasalnya, penjualan BBM non-subsidi di SPBU tersebut masih terbuka untuk kendaraan apapun.
Ketua DPP Himpunan Wiraswasta Nasional Minyak dan Gas Bumi (Hiswana Migas) Eri Purnomohadi mengaku semua SPBU masih akan menjual produk pertamax dan solar DEX di SPBU subsidi penuh. Untuk produk tersebut, pihaknya bakal menjual kepada semua pengguna kendaraan. \"Ya kan beda nozzle (mulut selang). Dan kebanyakan produk BBM non subsidi itu punya jalur sendiri. Jadi, mobil akan kami arahkan ke jalur BBM non subsidi,\" ungkapnya di acara konforensi sikap Hiswana Migas dalam rencana pembagian dua harga BBM subsidi.
Dia mengakui, penerapan tersebut memang tak sepenuhnya mencegah penyelewengan. Pasalnya, kemungkinan mobil pribadi masuk dan memaksa membeli BBM harga Rp 4.500.
\"Sama dengan pemberlakuan stiker untuk mobil pelat merah lah. Hari pertama dan kedua, pasti ada yang meminta. Dan kami memang tak bisa tegas melarang. Tapi ya, mungkin nanti ada polisi yang bertindak. Selama ini kan sudah banyak polisi yang berjaga di SPBU,\" jelasnya.
Namun, dia memastikan bahwa Hiswana Migas mendukung rencana pemerintah apapun itu. \"Jadi, kalau ada yang bilang Hiswana keberatan itu salah. Orang yang menyatakan itu sudah kami pecat dari organisasi. Dan dia tidak mewakili semua pengusaha SPBU di seluruh Indonesia. Kekhawatiran soal omset kan sebenarnya bukan masalah harga. Tapi lokasi. Dimana SPBU itu berada dan siapa saja yang biasa beli disana,\" ungkapnya.
Sebagai catatan, upaya pemisahan lokasi penjualan produk SPBU dengan dua harga dengan membagi SPBU dilakukan untuk menghindari penyelewengan. Dalam pernyataan Menteri ESDM Jero Wacik, memperbolehkan mobil pribadi ke lokasi penjualan bisa memancing penyelewengan.
\"Kalau ada dua SPBU, nanti kan mobil diarahkan ke SPBU yang menjual BBM harga baru,\" ungkapnya
Permasalahan tersebut turut mendapat tanggapan dari pengamat migas Komaidi Notonegoro. Deputi Direktur ReforMiner Institute itu menganggap hal tersebut merupakan konsekuensi dari rencana pembatasan pemerintah.
\"Namanya upaya pembatasan itu pasti menghasilkan masalah. Memang bisa ditangani, tapi pasti ada masalah muncul kembali,\" ujarnya.
Dia mengaku, idealnya, SPBU yang menjual BBM harga Rp 4.500 tak boleh lagi menjual produk non-subsidi. Sebab, hal tersebut membuat upaya pembagian menjadi kembali rancu.
\"Kalau dijual di sana (SPBU harga Rp 4.500) siapa pasarnya. Sepeda motor pasti memilih BBM subsidi. Sedangkan kalau mobil pribadi bisa masuk ke sana, buat apa dua SPBU. Tapi, kalau SPBU hanya menjual premium, markset share mereka menjadi semakin kecil,\" ujarnya.
Lalu, bagaimana solusinya? Komaidi menyatakan harusnya ada kebijakan tegas dalam penghematan anggaran. Contohnya, memukul rata kenaikan harga BBM bersubsidi. Menurutnya, kenaikan harga meski hanya Rp 500 lebih berdampak daripada membuat menaikkan Rp 2.000 bagi mobil pribadi.
\"Kalau misalnya dinaikkin Rp 500 saja sudah keliatan besarnya. Tinggal kalikan 46 juta kiloliter (jumlah kuota BBM bersubsidi). Tapi kalau skema ini kan hanya dikalikan pada porsi konsumsi mobil pribadi. Yang mungkin hanya 30 persen saja dari total konsumsi. Itu kalau mau tegas. Tapi kalau mau pencitraan ya tak tahu juga,\" jelasnya.
(bil)