JAKARTA-Perekonomian dunia yang belum membaik turut mempengaruhi ekspor minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO) dan turunannya. Pada kuartal pertama ini, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) mencatat ekpor CPO dan produk turunannya mengalami penurunan. Untuk menggenjot itu, Kementerian Perdagangan menurunkan bea keluar CPO menjadi sembilan persen.
Pada Januari ekspor CPO mencapai 2,05 juta ton lalu pada Februari turun 14 persen menjadi 1,92 juta ton. Sedangkan pada Maret lalu ekspor CPO kembali turun 11,4 persen menjadi 1,7 juta ton. Wakil Menteri Perdagangan Bayu Krisnamurthi mengakui tahun ini ekspor CPO mengalami masa berat. Menyikapi penurunan ekspor tersebut pihaknya menurunkan bea keluar CPO. \"April lalu bea keluar CPO 10,5 persen pada Mei ini kami turunkan menjadi 9 persen,\" katanya.
Dengan penurunan itu pihaknya berharap dapat meningkatkan daya saing produk CPO di pasar ekspor. Bayu mengakui bea keluar tersebut masih tinggi dibanding dengan pesaing produsen CPO Indonesia, yakni Malaysia. Saat ini Malaysia menetapkan bea keluar CPO di bawah lima persen. Ia mengaku banyak masukan dari pengusaha agar bea keluar disamakan seperi Malaysia. Namun menurutnya jika itu dilakukan bakal merusak pasar CPO dunia dan berdampak pada kinerja ekspor CPO jangka panjang.
Untuk menutupi penurunan ekspor CPO pihaknya mengharapkan peningkatan penyerapan CPO dan produk turunannya di pasar lokal. Terbentuknya pasar CPO dalam negeri bisa menolong ketika permintaan pasar dunia menurun. Pihaknya mendorong pelaku industri beralih ke energi biodiesel. Ia berkata biodiesel dan solar jika dilihat dari nilai dan efisiensinya sama.
\"Saat ini solar sudah langka. Daripada harus antri mending memaksimalkan biodiesel. Itu sudah kami himbau, penggunannya bisa dimaksimalkan untuk kendaraan yang beroperasi di pabrik, bukan yang di jalan,\" terangnya.
Sementara itu Direktur Eksekutif Gapki Fadhil Hasan menjelakan saat ini pasar ekspor CPO sedang menghadapi permasalahan yang komplek. Selain penurunan permintaa di negara tujuan ekspor utama juga terkait dengan isu pemberlakukan pajak impor CPO 2,5 persen yang segera diberlakukan. Selain itu harga CPO juga masih belum bagus. Pada Januari harganya USD 810-885 per ton. Pada Februari sempat naik tipis menjadi USD 835-885 per ton dan Maret kembali turun menjadi USD 835-870 per ton.
Daya saing CPO Indonesia juga semakin turun karena harga CPO Indonesia lebih mahal dibanding Malaysia. Misalkan saja di Tiongkok, pangsa pasar CPO Indonesia di Tiongkok turun dari 15 persen menjadi 12 persen. Dengan melihat situasi dunia saat ini, Fadhil memproyeksi penurunan ekspor CPO dan harga bakal berlangsung hingga Mei nanti. \"Jika ini tidak segera disikapi, ke depan ekspor CPO bakal terus tergerus. Apalagi saat ini telah ada isu pajak impor CPO dan kedelai dari 2,5 persen yang bakal segera diberlakukan,\" ungkapnya.
Untuk itu ia berharap pemerintah bisa membuat kebijakan guna medukung daya saing CPO dan produk tururunannya. Ia meminta pemerintah menurunkan bea keluar yang lebih kompetitif dengan Malaysia. \"Selain itu pemanfaatan CPO dalam negeri juga harus ditingkatkan. Apalagi sebentar lagi realisasi kenaikan bahan bakar bersubsidi sudah di depan mata. CPO ini bisa menjadi energi alternatif biodiesel,\" ucapnya.
(uma)