Dr. dr. H. Yuwono, M.Biomed.
SEPEKAN lagi kita akan memasuki Bulan Ramadan 1434 H. Terbersit pertanyaan “Akankah Ramadan kali ini berjalan seperti tahun-tahun sebelumnya? Tanpa kesan dan bekas yang bermakna pada kehidupan kita?”. Kita perlu jujur pada diri sendiri mungkin selama ini kita berpuasa (shaum) Ramadan sekedar menggugurkan kewajiban dan tidak mendapatkan manfaat kecuali lapar dan haus.
Tahukah kita bahwa Bulan Ramadan yang datang adalah kaffarat (penghapus dosa) untuk masa 1 tahun sejak Ramadan yang lalu. Penghapus dosa berarti memang kita ini insan yang berbuat dosa dan kesalahan-tidak satu pun dari kita yang luput dari ini. Hidup memang penuh tantangan dan ujian. Berdiam diri tanpa berbuat apapun berarti kalah dan itu pun salah (berdosa). Aktif dan bersabar menghadapi tantangan dan ujian hidup pasti sesaat akan tersalah (berdosa). Tidak ada dosa yang tidak terampuni dan tidak ada masalah yang berlarut. Semua ada jawaban dan penyelesaian jika kita kembalikan kepada Pemilik semua urusan yaitu Allah SWT. Nah, salah satu kemurahan Allah SWT adalah mengaruniakan media bagi kita untuk membersihkan diri dari kesalahan dan dosa yaitu dengan puasa Ramadan.
Alquran Surat Albaqarah ayat 183 – 187 secara eksplisit (gamblang) menginformasikan kepada kita tentang shaum Ramadan. Puasa atau fasting (Bahasa Inggris) atau shaum (Bahasa Arab) berarti menahan. Menahan artinya sebenarnya kita mampu dan bisa melakukan sesuatu tetapi kita menahannya karena satu alasan yaitu Allah SWT. Seruan wajib untuk shaum Ramadan ditujukan kepada orang-orang beriman. Hal ini mengisyaratkan bahwa shaum Ramadan adalah ibadah yang khusus-hanya mereka yang beriman yang dapat melaksanakannya. Mengapa hanya mereka yang beriman dan tidak semua manusia (termasuk yang kafir) diwajibkan untuk shaum? Rasulullah Muhammad SAW menyatakan “Man shoma romadhona imanan wahtisaban, ghufiro lahu ma taqaddama min dzanbihi (Siapa yang shaum Ramadan dilandasi iman dan fokus dalam ibadah ini, akan diampuni dosanya yang telah lalu)”. Iman dan ihtisaban menjadi prasyarat suksesnya shaum Ramadan kita. Iman menjadi penentu karena kita menahan diri dari lapar, haus serta tidak bersikap dan bertindak buruk karena kita yakin (iman) diawasi Allah, kelak kita berjumpa Allah dan akan diberitahu tentang semua yang kita kerjakan. Ihtisaban artinya dengan kalkulasi (perhitungan) yang cermat atau dengan kata lain kita benar-benar fokus melaksanakannya.
Kewajiban shaum berlaku bagi insan beriman dimasa dahulu, sekarang dan yang akan datang hingga hari kiamat menunjukkan bahwa shaum adalah kurikulum universal untuk mendidik jiwa raga manusia. Betapa tidak, fisik akan ditempa dengan lapar dan haus serta jeda dari ketamakan makan sehingga dihasilkan insan yang sehat. Akal ditempa untuk berlogika, berfikir keras, berfikir jernih sehingga dihasilkan insan yang cerdas dan bijak. Jiwa akan ditempa dengan kesabaran dan ketabahan serta kebersahajaan sehingga dihasilkan insan yang berjiwa luhur-peka terhadap kebaikan. Inilah hakikat taqwa yang menjadi tujuan akhir atau goal dari shaum Ramadan. Taqwa berarti berhati-hati yaitu insan yang berhati-hati selama hidup di dunia dalam mengelola potensi fisik, akal dan jiwanya. Bentuk dari taqwa adalah manusia yang dekat dengan Allah karena ia mencintai Allah dan Allah mencintainya. Jika Allah-Tuhan Semesta Alam sudah mencintai seorang hamba-Nya maka sudah pasti hidupnya di dunia akan bahagia dan di akhirat telah dinanti di tempat yang mulia yaitu syurga.
Mungkin kita bertanya mengapa tujuan taqwa yang begitu tinggi tersebut hanya dilakukan dengan tidak makan dan tidak minum lebih kurang 12 jam setiap hari? Islam dibangun atas fondasi ilmu yang kokoh. Setiap bagian dalam islam apakah aqidah, ibadah dan muamalah semuanya didasari ilmu. Hanya terkadang ilmu kita yang belum sampai pada pemahaman akan hal tersebut. Rasulullah SAW pernah menyatakan bahwa perut adalah sumber penyakit. Ulama menyatakan bahwa orang yang hidupnya hanya untuk perut (makan dan minum) maka kualitas orang tersebut tidak lebih baik dari apa yang keluar dari perut (kotoran). Secara medis saluran pencernaan kita memiliki luas sekitar 400 m2 dan bertanggungjawab terhadap 80% pertahanan tubuh (imunitas). Ini berarti jika sehat pencernaan kita maka sehat seluruh badan kita karena minimal 80% imunitas berfungsi baik. Sehatnya pencernaan ditentukan oleh makan-minum yang halalan tayyiban yaitu halal lagi baik. Halalan artinya diperoleh dengan cara yang halal dan zat (substansinya) halal. Tayyiban artinya mencukupi kandungan gizi dan enak serta bentuknya bagus. Selama Ramadan kita ditempa untuk menahan diri dari makanan dan minuman yang halalan tayyiban kecuali saat berbuka dan sahur. Ini merefleksikan bahwa untuk yang halal dan baik saja harus hati-hati apalagi untuk yang haram dan yang buruk. Sukses menjalani Ramadan ditandai dengan berubahnya pola makan minum kita menjadi halalan tayyiban dan juga perubahan pada cara kita memperoleh rizki untuk mendapatkan makanan dan minuman tersebut menjadi rizki yang halalan tayyiban. Inilah ilustrasi mengapa shaum secara kasat mata dilakukan dengan menahan lapar dan haus. Hakikatnya yang menahan lapar dan haus adalah raga, fikiran dan jiwa dan ini dilakukan berjamaah pada seluruh anggota keluarga kita.
Shaum Ramadan akan menjadi momentum perbaikan bila kita mempersiapkan diri dengan benar, berpuasa dengan benar dan mempraktekkan hikmah yang diperoleh selama sebulan berpuasa pada bulan-bulan berikutnya. Rasulullah Muhammad SAW berdoa “Allahumma bariklana fi rajaba wa sya’ban wabalighna Ramadan (Wahai Allah berkahi kami di Bulan Rajab dan Sya’ban dan pertemukan kami dengan Ramadan)”. Ini berarti Beliau SAW mempersiapkan dan menyambut Ramadan 2 bulan sebelumnya. Bagaimana dengan persiapan kita? Bekal ilmu atau pemahaman akan ibadah dan hikmah Ramadan, persiapan fisik termasuk kebersihan diri (hygiene) dan kebersihan lingkungan (sanitasi), persiapan jiwa yang redho dan ikhlas. Ramadan akan kita jalani dengan antusias untuk membiasakan diri dengan khusyu’ dalam ibadah mahdhoh (ritual) seperti shaum, sholat taraweh, membaca Alquran dan melakukan berbagai kegiatan sosial berjamaah serta meningkatkan kinerja dalam mencari nafkah. Perang Badar yang merupakan perang terbesar bagi kaum muslimin terjadi pada Bulan Ramadan. Tekad kita meraih Ramadan yang optimal yang ditandai i’tikaf (berdiam-ibadah di masjid) pada 10 hari terakhir dimana salah satu malamnya adalah malam lailatul qadr yaitu malam yang lebih utama dibanding masa seribu bulan (sekitar 83 tahun). Kita mungkin tidak sampai umur 83 tahun dan jika pun sampai maka tidak sepanjang 83 tahun itu kita ibadah. Sedangkan keberadaan kita ibadah pada malam lailatul qadr akan dinilai oleh Allah sebagai ibadah lebih dari 83 tahun. Ba’da (setelah) Ramadan yaitu mulai 1 syawal 1434 H nanti kita akan terlahir sebagai insan yang fitri yang akan kita pertahankan hingga berjumpa Ramadan berikut. Hikmah yang kita dawamkan (lanjutkan) adalah ibadah yang khusyu’, sikap dan perbuatan terpuji, berjamaah dan tolong-menolong serta kinerja yang meningkat. Inilah yang dimaksud bahwa Ramadan akan menjadi momentum (waktu) bagi kita untuk memperbaiki diri, keluarga dan bangsa. Pahala selama Ramadan dilipatgandakan, dosa diampuni, doa dikabulkan. Maka sungguh merugi bila momentum ini terbuang percuma!
(Oleh : Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Jambi)