Oleh: Sulthan Fatoni
Di bulan Ramadhan, seorang muslim yang puasa selalu ingin buka puasa bersama-sama. Entah dengan keluarga, kolega sekantor bahkan dengan sekelompok orang yang masih belum saling kenal. Buka puasa sudah menjadi alat berkumpul untuk kegiatan sosial politik, ekonomi dan budaya di sepanjang bulan Ramadhan. Entah sejak kapan tradisi ini terbentuk dan pada Ramadhan tahun ini pun tidak tradisi itu makin menguat dan meluas. Ramadhan hari kedua misalnya, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama diundang untuk buka puasa bersama oleh Kedutaan Besar India di Jakarta. Padahal pejabatnya yang beragama Islam hanya seorang saja.
Setelah berbuka puasa, kita salat tarawih. Pada tahap ini yang unik adalah saat menentukan siapa yang akan didaulat menjadi imam salat tarawih. Dari sekumpulan orang yang berbuka puasa, tampak jelas berapa jumlah orang yang ikut salat tarawih berjamaah. Dari sekumpulan orang yang bersiap salat tarawih, hanya segelintir saja orang yang siap menjadi imam salat tarawih. Dari segelintir orang yang siap menjadi imam salat tarawih, hanya hitungan jari saja yang benar-benar layak menjadi imam salat tarawih. Siapakah sang imam itu?
Saya masih ingin membahas lagi ibadah salat tarawih. Kali ini mari kita perhatikan keberadaan imam salat tarawih. Para ulama telah menentukan kriteria seorang imam salat, seperti harus orang yang paling memahami tentang postur dan konstruksi salat. Seorang imam salat juga harus mampu membaca al-Quran dengan baik, dan beberapa syarat lainnya. Seleksi ketat kepribadian dan kapasitas imam salat itu penting mengingat ia adalah garantor bagi keabsahan salat itu sendiri.
Terkait dengan salat tarawih berjamaah, terdapat dua karakter manusia yang disorot. Pertama, orang fasiq. Para ulama menambah kriteria kelayakan seseorang menjadi imam salat, yaitu tidak tergolong sebagai pribadi yang fasiq. Apa maksud fasiq dalam konteks imam salat tarawih? Para ulama memberi indikator ke-fasiq-an atau ketidak-fasiq-an seseorang dari sisi kedisiplinannya melakukan salat fardhu. Jika sudah disipilin maka ia bukan orang fasiq, dan layak menjadi imam salat tarawih.
Sebaliknya jika belum mampu disiplin melaksanakan salat fardhu maka ia termasuk orang fasiq, dan ia tidak layak jadi imam salat tarawih. Bahkan Syaikh Zainuddin al-Malibari (wafat 1574 M) menegaskan bahwa Allah membenci masyarakat muslim bermakmum salat tarawih kepada imam yang belum disiplin salat fardhu. Tidak hanya itu, para kiai Nahdlatul Ulama pada tahun 1935 berpendapat, haram (dosa) bagi orang fasiq yang jadi imam ini untuk melaksanakan salat tarawih (wa kuriha iqtida” bi fasiqin).
Karakter kedua yang disorot adalah perilaku bid”ah. Orang yang terbiasa melakukan perbuatan bid”ah disebut ahli bid”ah. Posisi hukum ahli bid”ah dalam konteks menjadi imam salat tarawih sama dengan posisi orang fasiq (wa kuriha iqtida” bi mubtadiin). Siapa Ahli bid”ah itu? Menurut KH Hasyim Asyari (1875-1947M), Ahli bid”ah itu orang-orang yang selalu menyudutkan dan mempersoalkan pola berislam muslim Indonesia (ara” mutadafi”ah wa aqwalun mutadharibah, wa rijalun mutajadzibah).
Hanya manusia yang tidak mempunyai problem sosial dan agama yang bisa leluasa menikmati Ramadhan dengan segala ritual di dalamnya. Ramadhan sangat menghargai integritas manusia. Ramadhan juga menempatkan manusia dalam posisi yang sesuai dengan integritas yang dimilikinya. Ramadhan juga memberi kesempatan manusia untuk memperbaiki integritasnya. Ramadhan juga memberi sanksi moral kepada manusia yang enggan memperbaiki integritasnya.
Maka salat tarawih sebulan dalam satu tahun ini sangat penting untuk memperbaiki kepribadian dan membangun integritas diri. Salat tarawih menjadi alat introspeksi atas kualitas integritas kita dan posisi integritas kita di tengah masyarakat. Salat tarawih bukan sekedar salat tarawih. Ia adalah alat ukur integritas manusia. Selamat beribadah.
Penulis adalah Wakil Sekjen Pengurus Besar Nahdlatul Ulama