Hukum Islam dalam Perkembangan di Indonesia (2-habis)

Kamis 18-07-2013,00:00 WIB
Oleh:

Indonesia merupakan negara Pancasila, artinya bukan sebagai negara agama karena negara agama hanya mendasarkan diri pada satu agama tertentu, tetapi negara Pancasila juga tidak dapat dikatakan sebagai negara sekuler karena negara sekuler sama sekali tidak mau terlibat dalam urusan agama.

Menurutnya, negara Pancasila adalah sebuah religious nation state yakni sebuah negara kebangsaan yang religius yang melindungi dan memfasilitasi berkembangnya semua agama yang dipeluk oleh rakyatnya tanpa membedakan besarnya jumlah pemeluk masing-masing (Mahfud M.D., 2007).

Dari paparan yang telah penulis sampaikan, ada beberapa pemikiran yang dapat ditarik sebagai pembelajaran kita selanjutnya. Pertama. Pergeseran identitas Islam yang nasionalis menjadi pergeseran identitas Islam berbentuk formal dalam sistem politik Indonesia merupakan kemunduran dalam melihat berbangsa dan bertanah air yang berhasil dirumuskan dalam Sumpah Pemuda Tahun 1928 dan dalam Konstitusi. Sudah saatnya rumusan persoalan pengelolaan yang berkaitan dengan sistem perkawinan, perceraian dan harta warisan kembali diletakkan dalam wilayah Pengadilan Umum. Sehingga Pengadilan Agama merupakan subsistem dari pengadilan Umum. Dapat disamakan seperti Pengadilan ad hock Perburuhan, Pengadilan Anak, Pengadilan ad korupsi, Pengadilan Niaga dan sebagainya. Sehingga rumusan Peradilan di Indonesia cukup 3 saja yaitu Peradilan Umum (yang meliputi seperti yang telah diuraikan), Peradilan Tata Usaha Negara dan Peradilan Militer.

Kedua. Harus diberi porsi yang cukup juga terhadap sebagian kalangan umat islam yang plural. Yang meletakkan islam sebagai identitas agama tanpa masuk kedalam wilayah publik.

Ketiga. Adanya rumusan yang berkaitan dengan hukum tidak dapat berangkat dari norma agama. Selain tidak memenuhi asas kepastian hukum. Norma agama masih menjadi perdebatan dan yang pasti norma agama hanya dapat diberlakukan kepada umat agama itu sehingga dapat menjadi tirani mayoritas.

Keempat, tidak menggunakan simbol-simbol agama dalam menyelesaikan persoalan yang berkaitan dengan hukum. Peristiwa pernikahan Syech Puji dengan perempuan yang berumur 12 tahun haruslah diselesaikan dengan hukum tidak berangkat dari tafsiran agama yang sempit yang hanya melihat dari sudut pandang saja. Kelima. Sudah saatnya umat islam yang menjadi mayoritas di Indonesia menjadi rahmatanlil alamin. Menjadi rahmat bagi berbagai umat manusia. Sudah saatnya, tafsiran-tafsiran yang berkaitan dengan agama haruslah dilihat dari konteknya dan tidak melakukan tafsiran-tafsiran teks yang sempit. Sehingga justru merugikan pandangan terhadap umat islam.

Penulis yakin dengan tawaran pemikiran yang telah disampaikan, karena penulis berangkat setelah melihat dari perjalanan sejarah politik islam dalam sistem ketatanegaraan dan sistem politik yang mempengaruhi sistem politik di Indonesia.

Berangkat dari konsepsi tersebut, maka adalah suatu keniscayaan bahwa negara mempunyai kewajiban konstitusional (constitutional obligation) untuk melindungi kebebasan beragama bagi setiap warga negaranya. Mengutip asosiasi yang digunakan oleh Jimly Asshiddiqie, ketika Konstitusi berada di salah satu tangan kita, maka kitab suci agama selalu berada di satu tangan lainya. Artinya, kedua hal tersebut haruslah berjalan secara harmonis dan tidak dapat dipertentangkan satu sama lainnya.

Nah, dari paparan yang telah penulis sampaikan, baik dilihat dari rumusan UUD 1945 yang dilihat daria sejarah hukum di Indonesia, sistem hukum dan berbagai argumentasi yang telah penulis sampaikan, maka sudah sepantasnya, Apakah hukum Islam masih menarik untuk dibahas ?.

(Penulis adalah pengacara dan tinggal di Jambi)

 

Tags :
Kategori :

Terkait