Oleh: Bahrul “Ulum
Perjalanan Ramadhan 1434 H tanpa terasa sudah memasuki pertengahan. Sejak awal ramadhan berbagai aktivitas ibadah dengan jadwal yang padat telah kita kerjakan, tidak ubahnya laksana pelatihan yang jadwal (schedule) nya telah ditentukan yang sayang bila kita lewatkan, karena kita mengetahui di bulan yang mulia ini setiap amal ibadah dilipatgandakan pahalanya, pintu rahmat terbuka lebar, dosa diampuni dan pintu neraka tertutup. Ramadhan adalah moment yang tiada hari tanpa amal shaleh, dan tiada amal shaleh tanpa imbalan pahala yang tidak terhitung. Karena itu akan sangat merugi sekali apabila di bulan yang dibuka lebar-lebar untuk meningkatkan ibadah dan memperbanyak amal shaleh ini berlalu begitu saja, tanpa ada prestasi atau catatan amal ibadah yang meningkat dan mengesankan, karena tentu bulan ramadhan tahun ini tidak akan pernah kembali lagi.
Puasa ramadhan yang hanya didasari dengan keimanan ternyata tidaklah cukup, masih harus diiringi dengan beragam amal shaleh yang didukung oleh seperangkat niat dan keikhlasan. Tanpa itu puasa menjadi hampa dari nilai-nilai spiritual yang merupakan roh dari puasa itu sendiri, dan tentu tujuan untuk memperoleh derajat orang beratqwa akan sulit dicapai. Karena itu keimanan, niat, keikhlasan dan amal shaleh adalah pilar ibadah yang harus bersinergi.
Di pertengahan ramadhan ini saatnya kita monitoring dan renungkan bagaimana kualitas ibadah puasa yang sudah kita jalankan, di saat masih tersisa setengah bulan lagi dan sebelum ramadhan tahun ini benar-benar meninggalkan kita. Sudahkah kita jalani puasa itu dengan tidak sekedar menahan lapar dan dahaga tapi juga telah mampu menahan diri dari segala hal yang dapat mengurangi atau menghilangkan pahala puasa kita seperti ghibah (membicarkan keburukan orang lain, tanpa ada solusi), sudah mampukah kita menghilangkan pikiran-pikiran buruk saat kita bekerja di tempat kerja seperti berpikir untuk korupsi dan melakukannya, bagi pedagang berpikir untuk mengurangi timbangan dan melakukanya, adakah kita peduli pada orang-orang yang tidak mampu (anak yatim, tua jumpo, orang-orang fakir miskin, anak jalanan yang tidak mampu). Sudahkah kita menghidupkan malam-malam ramadhan (qiyamullail). Sudahkah kita membaca al-Qur”an, dan mencoba memahami kandungan isinya?, dan ibadah sunnat lainnya. Jawabannya tentu terpulang kepada diri kita masing-masing.
Pelaksanaan ibadah yang hanya bersifat seremonil-ritual semata ini akan menghasilkan pribadi-pribadi yang hampa, ibarat padi yang tidak berisi. Bila diperhatikan sehari-hari mereka rajin melaksanakan segala macam amal ibadah, dari yang wajib sampai yang sunnat. Mereka berduyung-duyung ke masjid, dan mengerjakan ibadah di sana seperti kebanyakan orang mengerjakannya, mereka kelihatan seperti menghadiri sebuah upacara ritual yang kehadirannya bermakna hanya “meramaikan”, ketika upacara selesai, mereka bubar dan besok harinya kembali diulangi. Implikasi dari ibadah yang dikerjakan tidak membekas pada pribadinya. Mereka rajin shalat, puasa dan ibadah-ibadah lainnya, tapi ketika mereka berada di tempat kerja, mereka kembali menekuni kebiasaan buruk yang bertentangan dengan nilai-nilai agama dan sosial seperti korupsi, mengumpat, berbuat maksiat dan penyakit sosial lainnya. Etos ibadah yang dikerjakan belum mampu menjadikan mereka terbentengi oleh perbuatan-perbuatan yang maksiat. Mereka gagal memperoleh hikmah kearifan dari puasa dan implikasi positif bagi kehidupan spiritual dan sosial.
Barangkali inilah wujudnya apabila pelaksanaan ibadah tidak didasari pada pemahaman tentang dimensi ibadah yang dikerjakan dan niat yang tulus, yang ada adalah pelaksanaan formalitasi simbolis dari kewajiban agama tanpa penyelaman dan evaluasi terhadap makna hakikat dibalik ibadah yang dikerjakan tersebut. Dalam hal puasa, inilah yang dimaksud Rasulullah ketika bersabda bahwa ada banyak orang yang berpuasa tapi tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya kecuali lapar dan dahaga (kam min sha-imin laisa lahu min shaumiwi illa alju-”I wal-”athasy”). Karena itu puasa kali ini yang tinggal beberapa hari lagi hendaknya dijadikan momentum untuk memperbaiki kualitas ibadah puasa kita, menyelami maknanya yang lebih dalam, lebih berakar, dan lebih mutidimensional. Kemampuan untuk memperbaiki kualitas ibadah tersebut akan mengantarkan seseorang untuk meningkatkan kualitas ibadahnya dan mendekati derajat taqwa.
Tentulah kita tidak ingin menjalani puasa, tetapi tidak mendapatkan apa-apa dari puasa itu sendiri seperti disinggung Rasulullah tersebut. Pesan moral puasa jangan hanya berhenti pada imsak dari makan minum dan terpenuhinya syarat rukun lainnya, tapi yang lebih penting adalah bagaimana pelaksanaan ibadah puasa itu benar-benar dilaksanakan dengan niat yang ikhlas dan konsisten menjaga integritas pribadi dari hal-hal yang dapat merusak dan mengurangi pahala puasa kita, sehingga nilai puasa dapat memberi pengaruh dan kesan spiritual bagi diri kita, bagi masyarakat, dan bagi perbaikan karakter bangsa dan negara kita. Wallahu A”lam (Dosen Fak.Syariah IAIN STS Jambi/alumnus Program Doktor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)