Ikhwan Muslimin dan Tafsir Terorisme

Kamis 29-08-2013,00:00 WIB

 

Jika berangkat dari pengertian terorisme secara leksikal seperti di atas, maka mafhum sederhana dapat disimpulkan bahwa terorisme itu selalu ada dalam realitas sejarah kehidupan manusia. Bahkan, ada semenjak manusia itu membentuk komunitas sosial seperti tragedi pada bani Adam, Habil dan Qabil. Namun pengertian terorisme dalam pemikiran modern mengkristal semenjak revolusi Prancis pada tanggal 10 Agustus 1792, ketika pihak oposisi revolusi melakukan pelbagai tindakan kekerasan dalam menantang revolusi tersebut.

 

Dalam perkembangannya, gerakan terorisme memang sangat sering dilatarbelakangi oleh kepentingan politik. Hal ini terlihat dari beberapa klasifikasi yang dirangkumkan oleh para ilmuwan. Setidaknya ada tiga. Pertama, terorisme kriminal seperti gerakan perompakan dan penodongan. Kedua, terorisme hegemonik seperti yang banyak dilakukan oleh banyak penguasa terhadap lawan politiknya dalam melanggengkan kekuasaan. Ketiga, terorisme pemikiran seperti pemaksaan opini dan pemahaman terhadap kelompok lain.

 

Dari ketiga rangkuman tentang pemaknaan terorisme di atas, jika dikontekstualisasikan di negara Mesir sekarang ini, maka sangat jelas, bahwa kudeta yang bersimbah darah dari tangan-tangan sadis militer Mesir itu, merupakan terorisme hegemonik, dimana pihak Militer yang merampas kekuasaan dari pihak sipil kemudian melakukan pembantaian kepada lawan politik mereka. Kelompok gerakan Ikhwan Muslimin di Mesir dengan sayap politik Partai Kebebasan dan Keadilan yang telah ditakdirkan menjadi pemenang Pemilu hanya menjadi target dari alibi penumpasan terorisme global. Jamaah Ikhwan yang selama ini selalu mengedepankan intlektualitas politik dan moderasi Islam harus distigmakan dengan label teorisme, sebab hanya dengan alibi ini, kelakuan pembantaian yang dikomandoi Adb Fattah al-Sisi bisa “terima” oleh pro status quo, liberal dan Islamphobia.        

Di sini letak rancunya. Demonstrasi damai (al-i”tishom)tanpa senjata, yang meruapakan ciri khas demokrasi, justru dibantai dan dianggap sebagai gerakan terorisme. Tapi, kudeta militer, pembantaian manusia dengan sangat keji oleh apatur negara dianggap sebagai kewajaran dan menjadi ikon perjuangan dalam menegakkan kedaulatan demokrasi dalam sebuah Negara. Beginikah tafsir terorisme yang kemudian menjadi rujukan pro kudeta? Ini yang mungkin dimaksudkan oleh Fahmi Huwaidi sebagai ajras al-”audah ila al-wara” (lonceng pertanda mundur ke belakang)? Tentu, yang berakal waras dapat menilai dengan objektif dan yang sebenarnya. Wallahu”alam

 *Kepala Pusat Penelitian (Puslit) IAIN STS Jambi & Dosen Fak Syariah Jurusan Ilmu Pemerintahan.

Tags :
Kategori :

Terkait