Jadi Perhatian di Belanda, Terlupakan Oleh Negara

Selasa 12-11-2013,00:00 WIB

 \"Kulo pas angon bebek ten ngandap. Lha pas ningali ten nginggil wonten tiang disikso (Saya sedang menjaga bebek di bawah jembatan. Waktu melihat ke atas, ada orang disiksa, Red),\" tuturnya. Seketika itu Parto lari tunggang langgang. Bebek yang dijaga ditinggal begitu saja. Dia lari kembali ke rumah.

 Belum jauh kakinya melangkah, dor... dor... Suara letupan senjata terdengar. \"Sekali itu saja saya sempat melihat langsung. Sebab, kejadiannya belum gelap,\" paparnya.

 Parto dan beberapa orang tua di sekitar Jembatan Kali Progo mengungkapkan, penyiksaan yang diakhiri dengan pembunuhan memang terjadi menjelang malam. \"Tiap dua hari sekali terdengar suara tembakan,\" ujarnya.

 Bisa dibayangkan berapa banyak warga sipil maupun tentara Indonesia yang dihabisi di sungai itu jika tiap dua hari sekali ada yang dibunuh. Padahal, dalam monumen di dekat jembatan tersebut, tertulis pembantaian terjadi dalam kurun 22 Desember 1948 hingga 10 Agustus 1949. Hingga kini memang tidak ada data pasti mengenai jumlah warga yang menjadi korban dalam kejadian tersebut.

 Pembantaian di Jembatan Kali Progo digambarkan sangat keji. Hal itu bisa diketahui dari relief di makam Bambang Soegeng yang berada persis di samping makam. Digambarkan, korban disiksa dengan ditutup matanya. Penyiksaan biasanya dilakukan di jalan inspeksi yang sebelumnya berada di pinggir jembatan.

 Kejadian tersebut selalu berujung pada pembunuhan. Ada yang dipenggal atau ditembak kepalanya. Setelah meninggal, jasad para korban ditendang ke sungai yang berjarak sekitar 50 meter dari jembatan. Para saksi seperti Parto menyebutkan, banyak warga di sekitar Kali Progo yang hampir tiap hari mendapati mayat mengambang. Kali itu mengalir dan bermuara di Laut Selatan.

 Adik Bambang Soegeng, Bambang Purnomo, 85, menuturkan, korban pembantaian adalah orang-orang yang dianggap sebagai kaki tangan, mata-mata, atau pengikut pejuang. \"Tentara Belanda mendatangi kampung, pasar, dan rumah warga yang dianggap pemberontak. Mereka digelandang ke jembatan, diinterogasi, dan dibunuh,\" terang pria yang fasih berbahasa Belanda dan Jepang tersebut.

 Sangat mudah menuju Jembatan Kali Progo. Lokasinya di jalan utama sekitar 9 km dari persimpangan Secang\"Magelang. Kini ada dua wujud Jembatan Kali Progo, yang baru dan lama. Luas jembatan baru dua kali jembatan lama dan bisa digunakan dua lajur kendaraan besar. Berbeda dengan jembatan lama yang konstruksinya khas zaman kolonial.

 Jembatan lama kini tidak dipakai dan dibiarkan rusak. Namun, menurut pihak kecamatan setempat, tahun depan Pemkab Temanggung menganggarkan dana untuk menggarap wisata sejarah dan air di sekitar Jembatan Kali Progo.

 Di Jawa Timur, peristiwa serupa terjadi di sejumlah tempat. Salah satu lokasi yang sering menjadi sasaran Belanda adalah Kabupaten Malang. Di sana ada tiga desa yang warganya pernah menjadi sasaran kemarahan militer Belanda. Yakni, Desa Sutojayan di Kecamatan Pakisaji serta Desa Sumberejo dan Peniwen di Kromengan.

 Salah seorang saksi sekaligus korban yang masih hidup dari peristiwa di Malang tersebut adalah Prada Yasman. Dia mengungkapkan, saat itu Belanda membakar kampung dan mengeksekusi warga yang dianggap membahayakan. Yasman termasuk yang diculik dan disekap dengan cara berpindah-pindah hingga 13 bulan.

 \"Saya mengalami disetrum dengan kumparan dinamo, dipukul, dan disekap di dalam ruangan 1 x 1,5 meter,\" ungkapnya.

 Dalam dokumen dan data yang dimiliki peneliti, Max Van Der Werff, disebutkan bahwa penyerangan itu dilakukan karena Belanda mencuriga penduduk Sutojayan memasang sejumlah ranjau. \"Saya mendapat dokumen dan wawancara langsung terhadap keluarga tiga marinir Belanda yang menolak perintah membakar dan mengeksekusi penduduk di desa tersebut,\" ujar Max yang ikut ekspedisi bersama Jawa Pos.

 Sayangnya, tragedi kemanusiaan seperti kasus-kasus tersebut justru dibiarkan tertumpuk oleh sejumlah problematika baru di negeri ini. Padahal, persoalan itu dibahas serius di negeri Belanda, baik oleh media, peneliti, maupun LSM.

 Pasca kejadian Rawagede, banyak pegiat sejarah Belanda yang menelusuri kejadian-kejadian serupa di daerah lain. Mereka berharap Belanda mengakui dan meminta maaf seperti halnya di Rawagede.

 Pengakuan dan permintaan maaf tersebut diharapkan bisa menjadi modal berharga untuk rekonsiliasi hubungan kedua negara. Itulah yang juga dilakukan NCRV TV yang bersama-sama mengikuti ekspedisi ke lokasi-lokasi pembantaian tersebut. Sejumlah kejadian kemanusiaan itu kini masih diperjuangkan Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB) di Belanda.

Tags :
Kategori :

Terkait