(Catatan Jelang Pertemuan RSPO ke 11 pada Tanggal 12-14 November 2013 di Sumut)
Oleh : Rukaiyah Rofiq*
Indonesia, patut gembira, karena perhelatan akbar tahunan RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil) yang ke 11, kali ini digelar di kota Medan, kota yang selama ini menjadi kiblat bagi industry kelapa sawit di Indonesia. Sama dengan tahun-tahun sebelumnya, hajatan tahunan ini akan dihadiri oleh seluruh anggota RSPO yang jumlahnya mencapai 878 anggota dari 7 sektor berbeda dari seluruh Negara. Uniknya, anggota RSPO tak hanya berasal dari sector industry, tapi juga sector keuangan, retailer, dan bahkan juga beberapa NGO lingkungan dan social yang turut terlibat sebagai anggota. Bukan tanpa sebab, beberapa NGO lokal, nasional dan bahkan NGO international terlibat dalam forum ini, mereka ingin agar cita-cita minyak sawit berkelanjutan tak hanya menjadi symbol, tapi minyak sawit berkelanjutan mampu berkerja hingga ketingkat lokal
RSPO, sebagai forum multipihak yang berkepentingan terhadap minyak sawit berkelanjutan, awalnya menjadi harapan bagi banyak pihak, dan mungkin hingga hari ini, terutama masyarakat lokal dan masyarakat yang terkena dampak lansung dan tak lansung akibat aktifitas produksi minyak sawit, terutama di Negara-negara penghasil, termasuk Indonesia. Konlfik social, pelanggaran HAM, kerusakan lingkungan yang mewarnai perjalanan produksi minyak sawit yang kemudian memicu boikot penggunaan minyak sawit di Negara-negara Eropa, adalah awal dari terbentuknya RSPO sebagai forum yang memiliki cita-cita mulia yaitu mempromosikan minyak sawit berkelanjutan baik pada produksi maupun pada penggunaan minyak sawit dan mendorong agar pasar turut mentransformasikan minyak sawit berkelanjutan. Namun, meskipun RSPO telah berproses sejak tahun 2001 hingga kini, cita-cita mulia yang digagas oleh RSPO seolah hanya sekedar catatan yang tak bermakna. Dan justru yang terjadi saat ini adalah RSPO menjadi tempat yang nyaman bagi perusahaan-perusahaan besar untuk menyembunyikan persoalan besar dibalik RSPO. Wilmar Group sebagai contoh paling dekat, sebagai perusahaan terbesar di dunia, memiliki jaringan paling luas dan bahkan mendapat pendanaan dari IFC (group investasi Bank Dunia), namun sebagai anggota RSPO tak mampu menyelesaikan konfliknya dengan Suku Anak Dalam Batin Sembilan, dan bahkan mengalihkan konfliknya dengan perusahaan lain yang komitmennya terhadap minyak sawit berkelanjutan justru dipertanyakan. Tak hanya Wilmar, namun masih banyak lagi perusahaan-perusahaan besar lainnya seperti IOI, Genting, Ganda, dan tak hanya bermasalah di Indonesia, tapi juga dinegara lain seperti Thailand, Philipina, India, Malaysia, Nigeria hingga Cameroon. (sumber : Conflict or Consent? : the oil palm sector at a crossroads. Marcus Colchester and Sophie Chao, 2013)
RSPO dengan semua prinsipnya yang mencapai 8 buah prinsip dengan 39 kriteria, ternyata tak cukup mampu mendorong anggota-anggotanya untuk serius dalam mempromosikan minyak sawit berkelanjutan dengan mentaati prinsip dan criteria. Jika perusahaan anggota RSPO seperti Wilmar saja tidak mampu menyelesaikan konfliknya, maka bagaimana pula dengan perusahaan-perusahaan lainnya yang juga menjadi anggota RSPO. Jika konflik saja tidak bisa diselesaikan, bagaimana pula dengan persoalan-persoalan lainnya seperti persoalan lingkungan dan tranparansi, dan jika anggota RSPO saja tidak mampu mempromosikan minyak sawit berkelanjutan meskipun sebagai anggota, bagaimana dengan perusahaan-perusahaan yang bukan anggota RSPO, yang mungkin justru lebih besar jumlahnya dan masalahnya.
RSPO, sebagai sebuah iniciative, yang memiliki cita-cita besar kini sedang dalam tantangan besar, dimana beberapa anggotanya justru melakukan pangabaian terhadap cita-cita RSPO. dan pertemuan kali ini yang digelar dari tanggal 12-14 November 2013, dan juga akan membuktikan, apakah RSPO sebagai forum international masih tetap mampu menjadi gantungan harapan bagi Negara-negara pengimpor minyak sawit, dan masih mampu menjadi tempat jaminan bahwa perusahaan yang menjadi anggota RSPO bersungguh-sungguh dalam mempromosikan minyak sawit, tak hanya sekedar diatas kertas dalam bentuk sertifikat, tapi juga dalam praktek dilapangan. Karena keberlanjutan adalah tak hanya bermakna sebagai keberlanjutan secara ekonomi namun juga bekelanjutan secara social dan berkelanjutan secara lingkungan, dan diantaranya tidak ada yang lebih penting dan lebih utama. Seperti yang disampaikan oleh Prof. Emil Salim, bahwa pembangunan yang hanya menekankan pada ekonomi dan tak memperhatikan lingkungan serta social dalam perjalanannya, maka itu adalah pembangunan yang konvensional.
Dan bagi propinsi Jambi, yang saat ini memiliki lebih dari 659.000 Ha kebun kelapa sawit, dengan volume ekspor CPO mencapai 114.355.000 ton CPO (Dinas Perkebunan propinsi Jambi 2011) tentu akan mendapatkan dampak dalam jangka panjang, ketika RSPO tidak lagi menjadi forum yang dipercayai oleh Negara-negara pengimpor minyak sawit, sementara beberapa Negara seperti Jerman, Prancis, Belanda, Inggris, Belgia, telah berkomitmen untuk tidak lagi menggunakan minyak sawit tak berkelanjutan sejak tahun 2025. Bayangkan, apa yang akan terjadi pada CPO dari propinsi Jambi. Dan semuanya dimulai dari beberapa anggota RSPO yang tak bersungguh-sungguh dalam menerapkan dan mempromosikan minyak sawit berkelanjutan.
(penulis adalah direktur Yayasan SETARA Jambi dan juga sebagai mahasiswa Pasca Sarjana Ilmu Lingkungan di Universitas Jambi)