Oleh : Dra Enadarlita MKM
PROGRAM KB Nasional pada era 1980 – 2000 Secara operasional mempunyai tenaga sampai kelini lapangan, yakni adanya petugas lapangan KB (PLKB/PKB) hampir disemua desa/kelurahan, dimana rata-rata 1 (satu) PLKB mempunyai desa binaan 2-3 desa/kel, yang secara penuh bertanggung jawab terhadap keberhasilan PKBN di tingkat lini lapangan dan sangat dirasakan sekali keberhasilan PKBN dimasa itu. Namun setelah kewenangan pengelolaan dan operasional PKBN pada tingkat Kabupaten/Kota dilimpahkan pada daerah Kabupaten/kota, PLKB/PKB sebagai penanggung jawab keberhasilan Program KB Nasional di tingkat desa/kelurahan gaungnya kurang terdengar karena jumlah mereka yang sangat terbatas, bahkan 1 (satu) Kabupaten/Kota hanya ada 2 – 3 PLKB saja, yang harus membina lebih dari 100 (seratus) desa.
Dengan wilayah yang sangat luas, ditambah lagi dengan kondisi wilayah yang harus ditempuh sangat sulit, sebagai contoh berdasarkan pengalaman penulis untuk mencapai 1 (satu) desa dalam suatu kecamatan yang berjarak hanya ±24 km² saja kami membutuhkan waktu >10 jam, karena jalanan yang ditempuh adalah jalan tanah bila diguyur hujan langsung rusak parah. Dengan semakin berkurangnya petugas lapangan KB ( PPLKB dan PLKB ), mekanisme operasional program KB tidak berjalan seperti sebelum otonomi. Bagaimana dengan jumlah PLKB yang terbatas tersebut ? apakah mungkin mereka akan melaksanakan tugas mereka sebagai pengelola program KB Nasional dengan penuh tanggung jawab ?
Setelah kewenangan pengelolaan dan operasional Keluarga Berencana di limpahkan pada Kabupaten/Kota, komitmen mereka terhadap program KB cenderung melemah, petugas lapangan (PLKB) sebagai ujung tombak di lapangan banyak yang beralih fungsi, sebagian mereka dimutasikan ke dinas/instansi lain. mekanisme operasional di lapangan cenderung tidak berjalan maksimal. Nomenklatur penyelenggara Progam KB juga bervariasi, ada SKPD KB dalam bentuk Dinas, Badan, Kantor bahkan diantaranya digabung dengan institusi lain.
Berubahnya pengelolaan Program KB Nasional dari sentralistik menjadi desentralistik merupakan masalah terhadap upaya percepatan penurunan angka kelahiran, ( TFR) angka kematian ibu ( AKI) dan angka kematian bayi ( AKB) hal ini dirasakan karena rendahnya komitmen pemerintah daerah dalam meningkatkan perannya untuk mencapai keberhasilan program nasional tersebut. Disamping itu personil yang bertanggung jawab terhadap keberhasilan program KB Nasional tersebut berasal dari mereka yang bukan ahli dibidangnya sehingga kurang memahami Tupoksinya. Sebagaimana para ahli mengatakan bila suatu tugas diberikan bukan pada ahlinya tunggulah kehancurannya. Hal ini dapat dilihat dari jumlah penduduk Indonesia yang di prediksi pada tahun 2010 sebesar 234 juta jiwa namun kenyataan dari hasil sensus penduduk tahun 2010 jumlah penduduk Indonesia menjadi 237,6 juta Jiwa dengan demikian perkiraan meleset sekitar empat juta jiwa, jumlah yang sangat fantastis, bila diumpamakan sebuah provinsi yang berpenduduk sekitar 3 juta jiwa berarti telah bertambah lebih dari satu provinsi lagi ini berarti bertambah lagi beban negara.
Dari berbagai permasalah sebagaimana tersaji diatas, mari kita renungkan bersama dan kita cari solusi agar kondisi ini tidak berlarut-larut.
Penulis mencoba mengusulkan beberapa solusi sebagai berikut . Pertama, meningkatkan rasio PLKB terhadap desa/kelurahan agar persebaran tenaga lapangan semakin merata. Dimana 1 ( satu) PLKB cukup membina 2 desa/kelurahan saja. Dengan demikian beban tugas mereka tidak terlalu berat. Bila dalam 1 Kabupaten/kota terdapat 100 desa/kelurahan berarti membutuhkan 50 orang PLKB. Sebelum otonomi, 1 (satu) PLKB/PKB membina 2 (dua) kelurahan/desa sehingga mereka bisa menjangkau seluruh wilayah binaannya sesuai jadwal yang telah mereka susun mingguan dan bulanan, sedangkan setelah otonomi, sebagian besar Kabupaten/kota mempunyai PLKB/PKB yang sangat terbatas, bahkan ada kelurahan/desa yang tidak memiliki PLKB/PKB lagi, karena mereka sudah beralih tugas ke bidang/instansi lain. Dengan kondisi inilah program KB tak ubahnya bagaikan sayap yang patah karena kehilangan pengelola program yang handal.
Kedua, diharapkan Pemerintah Kabupaten/kota mempunyai komitmen yang lebih tinggi terhadap program KB Nasional sebagai upaya penurunan angka kelahiran yang cukup tinggi, karena jumlah penduduk yang besar akan menambah masalah baru dalam membangun kabupaten/kota tersebut apalagi bila mereka tidak produktif dan SDMnya rendah. Kondisi ini justru akan mejadi beban bagi pemerintah, Lahan yang ada tidak akan mungkin bertambah, kekayaan alam semakin lama akan semakin habis.
Ketiga, tantangan Program KB Nasional kedepan sangat berat apalagi BKKBN saat ini berdasarkan undang-undang nomor 52 tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, telah berubah Nomenklatur menjadi Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional. Dengan perubahan nomenklatur BKKBN tersebut, tanggungjawab BKKBN untuk mengatasi pertumbuhan penduduk di Indonesia semakin berat dan semakin komplek, tentu saja sangat dibutuhkan tenaga PLKB/PKB yang handal dalam mewujudkan visi- misi Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana ini. Sesuai amanah undang-undang nomor 52 tahun 2009 tersebut
(Penulis PNS Bandiklatda Provinsi Jambi dan anggota Pelanta)