Usul Kembalikan MPR Jadi Lembaga Tertinggi

Rabu 11-12-2013,00:00 WIB

  JAKARTA - Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) diusulkan kembali menjadi lembaga tertinggi negara. Usul itu merupakan upaya pemecahan berbagai persoalan ketatanegaraan yang terjadi sejak dilakukannya amandemen UUD 1945 yang menempatkan posisi sejajar antarlembaga tinggi negara.

 \"Karena sejajar, akhirnya saling sungkan. Siapa yang mengoordinasi, siapa yang dikoordinasi,\" kata Presiden Ke-5 RI Megawati Soekarnoputri dalam refleksi akhir tahun Pekan Politik Kebangsaan: Menyongsong Indonesia Memilih 2014 di Kantor International Conference for Islamic Scholars (ICIS), Jakarta, kemarin (10/12).

 Menurut Mega, posisi MPR sangat strategis dalam struktur ketatanegaraan di Indonesia. Namun, amandemen yang telah dilakukan sebanyak empat kali di era reformasi mendudukkan MPR sejajar dengan lembaga tinggi negara lain, seperti DPR, DPD, presiden dan Wapres, MA, MK, serta BPK. \"Dalam pelaksanaan ketatanegaraan, posisi MPR sebagai lembaga tertinggi negara sangat strategis,\" katanya.

 Mega menambahkan, saat menjabat sebagai presiden, posisinya masih sebagai mandataris MPR. Sebab, MPR masih menjadi lembaga tertinggi. Selain itu, pemerintahan masih menjalankan GBHN. \"Setelah itu, MPR menjadi lembaga tinggi. Dampaknya sangat terasa. Kalau ada sesuatu pada negeri ini, call-nya bagaimana,\" urainya.

 Mantan Wakil Presiden Try Sutrisno menambahkan, yang perlu dilakukan saat ini adalah mengkaji ulang UUD 1945. Sejak awal, dirinya bersama purnawirawan TNI dan Polri sudah mengingatkan agar berhati-hati dalam melakukan amandemen. \"Jangan hanya karena skeptis dengan Orde Baru,\" katanya.

 Dia mengungkapkan, preambule atau pembukaan undang-undang dasar memang tidak berubah. Namun, untuk batang tubuhnya, kata Try, banyak yang tidak konsisten, seperti pelaksanaan ekonomi kerakyatan. \"Soal perubahan masa jabatan presiden, saya juga setuju. Tapi, tidak seharusnya MPR di-downgrade,\" tegasnya.

 Sekjen ICIS Hasyim Muzadi mengatakan, banyak pertanyaan yang muncul dalam berbagai diskusi yang diikutinya. Misalnya, tidak adanya lembaga tertinggi negara, tidak adanya GBHN, dan sistem presidensial yang dianut, namun memiliki rasa parlementer.

 Refleksi akhir tahun yang diinisiasi ICIS, lanjut dia, diharapkan bisa memberikan sumbangan pemikiran. \"Jangan kita seperti bengkel yang hanya bisa bongkar, tapi tidak memberikan solusi,\" katanya.

(fal/c7/fat)

Tags :
Kategori :

Terkait