Melirik Kondisi Sekolah Suku Anak Dalam (SAD)
POTRET buram pendidikan di Provinsi Jambi muncul lagi. SD Negeri 238/IX Nyogan, Kecamatan Mestong, Muarojambi, hanya memiliki 2 kelas dan 4 orang guru honorer, sementara muridnya berasa dari Suku Anak Dalam (SAD). Lantas, bagaimana kondisi sekolah itu?
KESRIADI
PADA kenyataannya, SD di kota memiliki fasilitas sarana dan prasaran lengkap. Sedangkan kondisi sekolah yang ada di pedalaman sangat jauh berbeda, bahkan bisa dikatakan sangatlah memprihatikan.
Seperti sekolah tempat SAD menimba ilmu di Desa Nyogan, di sini hanya ada dua ruang belajar dan empat orang guru honorer. “Sekolah ini ada empat orang guru hororer dan satu orang PNS yang menjabat sebagai kepala sekolah,” ujar Demar salah seorang guru honorer kepada harian ini.
Wanita yang mempunyai dua orang anak ini menceritakan, sekolah ini mulai berdiri pada tahun 2009 lalu. Saat itu siswanya belajar hanya dengan menumpang di rumah temenggung SAD setempat. Kemudian tahun 2010 baru pemerintah membangun gedung permanen.
“Tetapi hanya dua lokal, jadi untuk belajar kita terpaksa membuat sekat di tengahnya. Karena sekarang siswa kelas 1 agak banyak, terpaksa kelas 2 masuk siang kelas 3 dan 4 gabung. Kami baru punya murid sampai kelas empat, jumlahnya 73 orang. 90 persen itu berasal dari SAD,” cerita Demar yang telah empat tahun mengabdi tersebut.
Selain hanya memiliki dua ruang belajar, sekolah tersebut juga tidak memiliki fasilitas lain, seperti lapangan olahraga yang layak dan fasilitas penunjang lainnya. “Lapangan kita ini kalau hujan selalu digenangi air, jadi kalau sudah hujan dakdo senam langsung masuk kelas,” tuturnya.
Untuk itu, ia berharap adanya perhatian dari pemerintah terhadap kesejahteraan tenaga pengajarnya dan juga pasilitias sekolah tersebut.
“Ke depan kami minta perhatikan kesejahteraan guru dan pasilitas sekolah, kami juga pingin sekolah kami seperti sekolah di luar. Kami minta ada penambahan lokal, kalau perpustakaan baru dibangun tapi belum diresmikan,” ungkapnya.
Dalam mengajar, ia mengaku guru-guru di sini butuh kesabaran yang ekstra. Karena untuk merobah tingkahlaku siswanya sedikit lebih sulit. Saat ditanyakan soal gaji, ia hanya tersipu malu. Menurutnya, mengajar untuk Suku Anak Dalam ini hanyalah sebuah pengabdian.
“Saya sudah empat tahun mengajar, pernah setahun itu ngajar tidak pakai gaji. Ya ini hanya pengabdian dan untuk mencari pengalaman,” tutupnya. (*)