Nilai tukar Bitcoin juga diklaim terus meningkat. Awalnya, 1 Bitcoin dipatok senilai USD 1 sen. Kini nilainya sudah mencapai Rp 9 juta per Bitcoin. ’’Tingginya nilai tukar itu bergantung makin banyaknya penggunaannya,’’ ujar alumnus Xavier University, Cincinnati, AS, tersebut.
Seperti halnya uang kartal, Bitcoin mengenal recehan. Istilahnya Satosi. Ada delapan digit dalam Bitcoin sehingga 1 Satosi = 0,00000001 Bitcoin. Nah, recehan Satosi itulah yang bisa ditambang di internet. Ada alat yang bisa digunakan untuk menambang recehan di internet, yakni Bitcoin Miner. Salah satunya Red Fury ciptaan Tiyo.
Sejumlah artikel menyebutkan, alat tersebut adalah satu-satunya buatan Indonesia, selain yang diproduksi di AS dan Tiongkok. Prinsip kerja alat tersebut adalah memverifikasi transaksi Bitcoin di internet. Mirip akuntan di perbankan, alat itu merekap lalu lintas Bitcoin yang berseliweran di internet. Dengan demikian, seorang cracker (pencuri data) harus merusak catatan miner di seluruh dunia agar bisa mencuri Bitcoin yang sedang berkelana. ’’Keamanan data yang berlapis-lapis itulah jaminan Bitcoin sebagai uang yang aman,’’ terang Tiyo.
Sebagai upah atas pekerjaannya, server memberikan imbalan dalam bentuk Bitcoin kepada para penambang. Nilai imbalan itu tidak besar. Namun, karena transaksinya besar, jumlahnya pun menggiurkan. ’’Semakin banyak orang yang mining, semakin kuat sistem Bitcoin. Itulah yang disebut the power of peer to peer currency,’’ ungkap Tiyo.
Berbekal keahlian di bidang elektronika dan sistem informasi, dia hanya butuh tiga bulan untuk membuat alat penambang Bitcoin. Kesulitan terletak pada komponen penyusun alat seharga Rp 1 jutaan tersebut. ’’Saya sampai pesan khusus ke Pantai Gading karena di beberapa negara komponen itu tidak tersedia dalam jumlah banyak,’’ terangnya tanpa memerinci komponen yang dimaksud.
Pertengahan tahun ini, Tiyo yang dibantu temannya dari Austria dan AS berhasil membuat prototipe dan dipasarkan secara online untuk mencari modal pembuatannya. Banyak orang yang tertarik memesan. Seluruh konsumen diminta membayar lunas di depan.
’’Awalnya saya produksi 3.000 unit. Tak disangka habis dalam 20 hari. Buat lagi 7 ribu unit, habis dalam lima hari. Mayoritas pembelinya reseller. Makanya, pesannya banyak,’’ ungkapnya.
Kini seluruh produksi dilakukan di Riau, kecuali beberapa komponen yang lebih murah bila diimpor. Setiap pekan transaksi miliaran masuk ke rekening Tiyo. ’’Saya sempat ditelepon bank, ditanyai-tanyai karena mereka curiga rekening saya mendadak gendut,’’ ujarnya lantas tergelak.
Terkait dengan tindakan Tiongkok yang melarang penggunaan Bitcoin karena berpotensi mengganggu rezim Yuan, Tiyo mengibaratkan dengan surat elektronik atau e-mail. Ketika pertama diperkenalkan, banyak orang yang khawatir. Namun, semua orang kini memiliki akun e-mail.
’’Saya yakin alat saya ini akan dijiplak. Namun, saya sudah memproduksi alat baru dengan teknologi yang lebih maju,’’ tegas pria kelahiran 25 Januari 1984 tersebut ketika ditanya alasan tidak mematenkan temuannya itu.
(c5/noe)