Tak ada aktivitas yang dilakukan para romo selain berdoa. Sesekali para romo menerima tamu, baik kerabat maupun muridnya. Untuk menjaga kesehatan, kadang para romo juga berolahraga menggunakan peralatan fitness yang juga disediakan di kompleks. Sesekali para romo juga berkebun atau memberi makan rusa yang dipinjamkan kebun binatang ke Novisiat Giri Sonta.
Suasana Wisma Emmaus dari luar sepintas tampak biasa saja. Mirip jejeran paviliun, namun sangat bersih. Di beranda tiap kamar terdapat dua kursi dan sebuah meja untuk menerima tamu. Namun, terkadang para romo itu menerima tamunya di dalam kamar. Tidak ada sesuatu yang khusus untuk para romo selain ketenangan dan kesunyian.
Untuk memonitor kesehatan para romo, sejumlah perawat selalu disiagakan. Secara rutin, setiap dua pekan, ada kunjungan dari dokter untuk memantau kesehatan maupun asupan gizi bagi para romo. Bagi sebagian orang, bisa jadi kehidupan mereka membosankan. Namun, bagi para romo, melayani umat merupakan urat nadi mereka. Pelayanan baru akan benar-benar usai jika mereka telah tutup usia.
Menurut Darminta, sesungguhnya para romo itu tidak benar-benar pensiun. Tidak ada alasan untuk tidak berinteraksi dengan umat. Mereka yang masih cukup kuat sesekali akan memimpin misa jika diminta jemaat. \"Saya, misalnya, masih mengajar di kampus di Jogjakarta meski seminggu sekali,\" ucap pria 71 tahun itu.
Jika telah mengakhiri tugasnya di dunia, sang pelayan umat itu akan dibaringkan di kompleks pemakaman uskup yang berada di ujung selatan Giri Sonta. Sedikitnya ada 77 makam tanam, artinya jenazah dikubur di tanah. Kemudian, ada 48 makam nontanam, yakni makam yang dibuatkan rumah, lantas jenazah dikubur permanen di balik beton secara bertingkat.
Keterbatasan lahan memang menjadi kendala tersendiri untuk memakamkan. Darminta menjelaskan, ada beberapa makam tanam yang sudah mengikuti keterpaksaan era modern. Yakni menguburkan beberapa jenazah sekaligus dalam satu liang dengan cara ditumpuk. Beberapa makam romo yang masih baru di-setting agar cukup untuk menumpuk tiga jenazah. Sedangkan makam yang lawas tetap satu jenazah untuk satu liang.
Semua romo yang berasal dari Ordo Serikat Jesuit yang meninggal selalu dimakamkan di Giri Sonta. Menurut Darminta, tidak ada alasan khusus, termasuk alasan spiritual yang mendasari kesepakatan tidak tertulis itu. \"Tujuannya hanya ada dua. Pertama, untuk mempermudah perawatan. Kedua, agar memudahkan para peziarah dalam mencari makam romonya,\" urainya.
Memang, kompleks makam tersebut tampak sangat asri dan terlihat amat dirawat. Rumputnya secara rutin dipotong. Penanda tiap makam pun dipoles dengan baik. Sederhana namun elegan. Di tengah makam dibuat sebuah tugu bertulisan nama beberapa romo yang dikubur bersama dalam satu liang.
Antara makam tanam dan makam rumah dipisahkan halaman yang di tengahnya terdapat gazebo. Jika lelah setelah berziarah, umat bisa beristirahat sejenak di gazebo tersebut sembari mengenang perjuangan sang romo dalam membimbing jemaat. Pohon-pohon pinus yang berada di sekitar makam membuat suasana makin sejuk.
Darminta mengatakan, kompleks pemakaman tersebut cukup sering didatangi umat. Khususnya yang memiliki kedekatan dengan sang romo, baik secara fisik maupun spiritual. \"Yang ramai itu pada awal November, saat peringatan Hari Arwah,\" tuturnya.
Darminta menambahkan, secara umum Giri Sonta menjadi tempat bagi mereka yang ingin mencari ketenangan, baik fisik maupun batin. Ketenaran Giri Sonta bahkan sudah sampai ke Eropa. Umat dari beberapa negara di Eropa menyempatkan diri datang ke sana saat mengunjungi Indonesia.
Mereka lebih memilih Giri Sonta daripada Jerusalem atau Vatikan karena ada satu hal yang hanya dimiliki Giri Sonta dibanding dua tempat tersebut. Hal itu tidak lain adalah ketenangan dan kesunyian. \"Itu yang mereka cari di Giri Sonta,\" terangnya.
(*/c9/noe)