Buruknya reputasi partai politik ini mungkin juga disebabkan oleh mekanisme pengelolalan keuangan partai. Sebagian besar keuangan partai berasal dari tokoh-tokoh utama dalam partai yang mampu memberikan dana operasional partai dalam jumlah besar. Akibatnya, mereka yang memiliki dana besar akan menempati jabatan yang tinggi di dalam partai. Partai ibarat sebuah perusahaan di mana siapa yang memiliki saham besar akan memiliki suara besar. Padahal, sejatinya keuangan partai haruslah didasarkan kepada dana dari anggota dengan ketentuan yang tidak memungkinkan adanya monopoli. Dengan kata lain, setiap anggota harus independen dan merasa memiliki kewajiban yang sama.
Keberadaan partai politik dalam sebuah demokrasi tidak dapat dipungkiri. Apapun situasinya, partai politik tidak mungkin dihapuskan, karena partai politik merupakan salah satu pilar demokrasi. Partai politik merupakan salah satu sarana penyaluran aspirasi rakyat. Seorang pengamat politik terkenal, E.E. Schattschneider, menyatakan bahwa “dalam demokrasi modern, tak mungkin rasanya tanpa kehadiran partai politik. Pemerintahan yang representatif tidak mungkin bisa dijalankan tanpa kehadiran partai politik.” Oleh karena itu, negarawan dan tokoh pemikir Perancis, Alexi de Tocqueville, menyatakan bahwa partai politik adalah sebuah kejahatan yang inheren dalam pemerintahan yang merdeka. Sekalipun partai itu banyak berbuat jahat, ia tak bisa dinafikan. Oleh karena demikian pentingnya keberadaan partai bagi tegaknya demokrasi, maka partai harus segera melakukan perbaikan. Apa-apa yang menjadi keluhan masyarakat harus segera mendapatkan respon dan solusi yang tepat.
Dalam konteks memperkuat wawasan kebangsaan di tengah tahun politik, partai politik harus berpikir untuk mewakili dan memperjuangkan semua kepentingan masyarakat. Ia tidak boleh berdiri atas pertimbangan golongan, agama, suku ataupun ras. Ia juga harus menangulangi paham-paham yang mencoba merongrong kewibawaan negara Pancasila.
Untuk itulah, partai-partai politik di Indonesia harus menjadi penjaga gawang dan pejuang utama nilai-nilai luhur Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Partai politik yang ada di Indonesia tidak boleh menjadi agen dari kepentingan maupun organisasi-organisasi internasional, yang visi dan misinya belum tentu cocok dengan kepribadian bangsa Indonesia. Mereka harus sadar bahwa segala paham dari luar negeri itu pasti lahir dari konteks sosial dan politik tertentu.
Menerima dan mengamalkan suatu paham tanpa mengkontekstualisaskan dengan kondisi di Indonesia adalah sama dengan berpikir a-historis. Namun di sisi lain, penting juga bagi partai politik dan para pemimpinnya untuk menggali Pancasila dan Undang-undang 1945, sebab bagaimanapun nilai-nilai Pancasila dan Undang-undang 1945 harus disesuaikan dengan dinamika sosial di Indonesia. Semua pihak harus sadar, bahwa bangsa Indonesia bukanlah masyarakat yang statis.
Dengan berpegang teguh pada nilai-nilai luhur Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, partai partai politik yang bertarung dalam pemilu tidak akan mengobarkan isu-isu yang bisa memecah-belah persatuan dan kesatuan bangsa. Mereka tidak mudah tergoda menjual isu-isu agitatif yang hanya mementingkan kepentingan sendiri.
Perspektif Penyelenggara Pemilu.
Kualitas Pemilu 2014 yang akan datang turut ditentukan oleh penyelenggara pemilu. Komisi Pemilihan Umum (KPU) baik ditingkat pusat hingga daerah merupakan faktor penentu penyelenggaraan Pemilu di Indonesia. Sebagaimana diketahui, demokrasi elektoral adalah pondasi bagi pembangunan demokrasi di Indonesia. Di sinilah, kualitas demokrasi elektoral di Indonesia di tentukan. Jika penyelenggaraan pemilu berlangsung tertib, aman, jujur, dan tertib, maka hasil pemilihan berupa pembagian kekuasaan partai politik, anggota legislatif dan juga presiden dan wakil presiden terpilih akan memiliki kredibilitas publik yang kuat. Dari sini, kepercayaan publik terhadap produk demokrasi yang cukup kuat akan memperlancar proses-proses politik dan demokrasi di masa lima tahun yang akan datang.
Untuk itu, KPU, KPUD dan PPK dituntut untuk bekerja secara profesional, independen, dan bebas dari kepentingan individu dan golongan. Dan yang terpenting dari itu, penyelenggara pemilu harus mengutamakan kepentingan bangsa dan negara di atas segala-galanya. Penyelenggara Pemilu harus menyadari bahwa tugasnya adalah menjaga dan menjamin tegaknya prinsip musyawarah mufakat (demokrasi) yang termaktub dalam Sila Keempat Pancasila. Dalam prinsip musyawarah-mufakat, keputusan diambil tidak didikte oleh kepentingan mayotitas (mayorokrasi) atau kekuatan minoritas politik dan pengusaha (monokrasi), melainkan dipimpin oleh hikmat/ kebijaksanaan yang memuliakan daya rasionalitas deliberatif dan kearifan setiap warga tanpa pandang bulu. Pengejawantahan prinsip itu adalah pemilu yang luber dan jurdil, di mana tanggung jawab utamanya ada di pihak penyelenggara pemilu, di mana pemilu merupakan mekanisme yang paling representatif dan rasional untuk menghasilkan good and clean governance.
Secara lebih teknis, penyelenggara pemilu juga harus memiliki kemampuan untuk menjaga pemilu dari kecurangan-kecurangan politik maupun dari kendala teknis. Penyelenggara pemilu dihadapkan pada dua problem; yang pertama, problem teknis-administratif. Pada Pemilu sebelumnya, masih terdapat persoalan-persoalan teknis-administratif yang dapat mengganggu kelancaran pemilihan umum, seperti penetapan DPS dan DPT, DCS dan DCT, kesalahan cetak kartu suara, distribusi kertas dan kotak suara yang terlambat dan salah kirim, serta sistem tabulasi suara dan komputerisasi yang buruk. Kesalahan-kesalahan teknis administratif ini memiliki tingkat kerawanan yang tinggi, sebab dapat dimanfaatkan pihak-pihak tertentu untuk memanipulasi hasil pemilihan. Selain itu, kesalahan ini juga dapat mengurangi tingkat kepercayaan publik dan partai politik terhadap penyelenggara sekaligus penyelenggaraan pemilu.
Kedua, menyangkut kapasitas, kualitas, dan integritas penyelenggara pemilu. Santer terdengar kabar bahwa terjadi banyak praktek jual beli suara, kecurangan penghitungan suara, pemindahan atau penghilangan suara dari calon atau partai satu ke yang lainnya dalam perhelatan pemilu. Praktek ini tentu saja disinyalir melibatkan oknum penyelenggara pemilu dengan pihak-pihak lain yang tidak memahami makna dasar dari demokrasi elektoral ini. Tak pelak, sengketa hasil pemilu muncul akibat kualitas dan integritas penyelenggara pemilu yang medioker ini. Tentu saja, hal tersebut tidak akan terjadi jika penyelenggara pemilu bekerja dan konsisten menaati aturan formal yang berlaku. Di beberapa daerah, dalam kasus pemilu legislatif dan ekesekutif, kantor-kantor KPUD kerap menjadi sasaran kekecewaan massa, bahkan perusakan aset kantor.
Terkait dengan hal ini, maka wajib hukumnya bagi penyelenggara pemilu untuk menjaga independensinya, baik partai politik ataupun calon anggota legislatif. Dengan kata lain, penyelenggara pemilu harus berada di posisi tengah dan bebas dari kepentingan politik dan bisnis apapun. Penyelenggara pemilu juga diharapkan menjaga fatsoen politik, dengan tidak mengundurkan diri di masa tugasnya untuk bergabung dengan partai politik tertentu. Pada masa sebelumnya, kita menyaksikan salah seorang komisioner berhenti di masa tugasnya dan bergabung menjadi politisi partai politik. Tentu saja, hal ini seharusnya dapat dihindari, mengingat bergabungnya dia ke partai politik peserta pemilu menimbulkan syak swangka atas independensi dan kredibilitas anggota penyelenggara pemilu. Jika misalnya, anggota penyelenggara pemilu bergabung ke partai pemenang pemilu pasca Pemilu, maka publik bisa saja menduga telah terjadi “permainan bawah meja” antara dirinya dengan partai politik tersebut, meskipun sebenarnya anggota tersebut memiliki integritas, kredibilitas dan independensi, dan profesionalitas semasa menjabat sebagai penyelenggara pemilu.
Penyelenggara Pemilu juga harus menjaga independensinya dari kepentingan bisnis pengusaha. Pengadaan barang dan jasa Pemilu yeng bernilai miliaran dolar harus berjalan sesuai mekanisme dan aturan yang berlaku. Tugas komisioner adalah memastikan tender pengadaan itu berjalan sesuai aturan. Maka tidak pantas jika seorang penyelenggara pemilu menjalin hubungan dengan pelaku bisnis, karena akan mempengaruhi posisi dan sikapnya dalam pengadaan tender dan kontrak bisnis. Kita berharap, penyelenggara pemilu dapat menjadi contoh dari sebuah praktik good and clean governance bagi institusi lainnya. Pengalaman dipenjarakannya penyelenggara pemilu akibat tersangkut praktek kolusi, korupsi dan nepotisme pada saat menjabat sebagai komisioner tidak boleh terulang kembali.
Selain penyelenggara pemilu KPU, KPUD dan PPK, kualitas penyelenggaraan pemilu di Indonesia juga ditentukan oleh lembaga pengawas pemilu, yakni Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Bawaslu dan Bawasluda berperan dalam mengawasi, dan mencatat serta melaporkan tindakan kecurangan dan pelanggaran pemilu yang dilakukan oleh partai politik atau perorangan caleg. Bahkan, Bawaslu juga dapat mengawasi kinerja penyelenggara pemilu, sehingga penyelenggaraan pemilu jauh dari kongkalingkong, kecurangan dan manipulasi politik yang merugikan. Lembaga ini, sebagaimana KPU, dituntut memiliki independensi dan ketegasan dalam menjamin aturan pemilu yang telah disepakati dapat tegak.
Untuk mencegah tindakan tidak adil, lembaga pengawas pemilu dituntut untuk memikirkan kepentingan bangsa dan negara jauh lebih penting dan besar dibandingkan kepentingan jangka pendek, politik, dan bisnis tertentu misalnya. Pengawasan atas berbagai pelanggaran pada pemilu tidak hanya dicatat saja, tetapi ditindaklanjuti sebagai alat bukti. Lembaga ini diharapkan memiliki keberanian dan ketegasan untuk menegakkan aturan main pemilu, sehingga siapapun atau partai apapun yang melanggar harus diproses sesuai mekanisme dan aturan yang berlaku.
Akhirnya: