Oleh: Jafar Ahmad *
Tahun 2013 menjadi tahun politik yang sangat fenomenal bagi Provinsi Jambi. Tahun ini memberikan begitu banyak catatan penting yang perlu menjadi pelajaran bagi pelaku politik di wilayah ini. Di samping sebagai tahun gerbang menuju pemilu 2014, perjalanan politik tahun ini menampakkan wajah begitu menakutkan bagi kekuasaan. Betapa tidak, hampir semua Pemilukada yang berlangsung tahun ini, menihilkan kemenangan petahana. Kenapa masih ada kata “hampir semua”? Karena pemilihan Bupati Kerinci saat tulisan ini dibuat masih dalam penyelesaian sengketa perselisihan hasil pemilu di Mahkamah Konstitusi. Adi Rozal sebagai penantang Bupati Petahana, Murasman, unggul sebanyak 779 suara. Jika tidak ada perubahan, maka Adi Rozal akan menjadi penantang terakhir tahun ini yang menang atas petahana, menyusul kemenangan Haris atan Nalim di Merangin, dan Pasya atas Bambang dan Sum Indra di Kota Jambi.
Banyak perspektif dalam melihat fenomena ini, baik yang irrasional maupun yang rasional. Kelompok irrasional bahkan menilai ini adalah “kutukan” tahun 2013. Angka “13” membawa sial bagi incumbent. Kelompok irrasional lainnya menghubungkan dengan terjadi pengalihan dukungan paranormal kepada penantang secara besar-besaran, sehingga rakyat dihipnotis sedemikian rupa untuk memilih sang penantang.
Tanpa ingin menilai kesahihan pandangan ini, tentu kami, para pengkaji politik, ingin selalu memberi pendekatan yang relatif lebih bisa diterima secara ilmiah dan rasional. Mendekati masalah ini dengan perspektif yang lebih bisa dijelaskan secara logis, meskipun kadang-kadang analisis kami tidak juga sepenuhnya benar dan tepat, namun inilah kiranya satu-satunya pilihan cara yang bisa memotret fenomena ini secara relatif objektif.
Kekalahan petahana dalam Pemilukada Merangin, Kota Jambi, dan mungkin juga Kerinci, paling tidak meninggalkan tiga pertanyaan penting. Pertama, adakah yang salah dengan petahana? kedua, apa yang terjadi dengan pemilih? Atau Ketiga, apakah penantangnya terlalu tangguh?
Terhadap tiga pertanyaan ini, saya ingin mendekati dengan pemikiran Arief Yahya, CEO PT. Telkom, dalam bukunya Paradox Marketing: Unusual Way to Win. Buku ini mengisahkan tentang strategi Arief dalam memenangkan Telkom dalam persaingan bisnis telekomunkasi di Indonesia dengan cara yang sangat berbeda, bahkan terlihat bertolak belakang. Arief menjelaskan bahwa saat ini, pola marketing telah mengalami perubahan yang luar biasa besar. Pergeseran budaya hidup masyarakat terjadi dengan cepat, seiring berkembangnya teknologi informasi. Prilaku konsumen juga telah berubah yang disebabkan oleh paparan informasi yang demikian massif, dari yang dulunya minim informasi, menjadi konsumen yang lebih banyak menerima informasi. Ketika konsumen sudah tahu banyak informasi, mereka menjadi relatif lebih baik pengetahuannya dan juga pintar dalam menentukan produk mana yang akan mereka beli atau mereka pakai.
Paralel dengan hal ini, pemilih juga telah menjadi lebih melek informasi. Oleh sebab itu mereka juga sudah cukup cerdas dalam menentukan pilihan. Berdasarkan pandangan Arief, maka kepala daerah sebagai produsen yang akan dipilih produknya oleh rakyat, mestinya memiliki strategi yang jauh lebih cerdas lagi dalam memasarkan produk mereka agar dipilih oleh pemilih yang sudah pintar ini.
Agaknya, kekalahan petahana pada pemilihan kepala pada tahun ini menampakkan bahwa mereka belum mampu memberi nilai tambah yang membuat rakyat terpikat selama memimpin. Buktinya “produk” yang mereka tawarkan tidak dipilih lagi oleh para pemilih.
Secara singkat “pemasaran paradok” yang ditawarkan Arief menawarkan kepada para pemasar untuk berpikir dan bertindak di luar batas-batas marketing biasa. Dia menawarkan supaya para pemasar berpikir mega, yakni pemikiran yang melampaui batas waktu dan ruang. Jika orang lain berpikir bagaimana memenangkan pemilihan kepala daerah pada periode kedua, maka seorang pemimpin yang berpikir besar haruslah berpikir, supaya apa yang dia lakukan hari ini, tidak saja bisa membuat ia terpilih, tapi juga memungkinkan membuat kerinduan pemilih untuk memilih sosok sepertinya berlanjut di masa-masa yang akan datang. Caranya? Tentu melakukan hal-hal yang dinginkan pemilih. Lalu apa yang diinginkan pemilih? Berdasarkan keyakinan subjektif saya, pemilih hanya perlu satu kalimat saja yakni “mereka hanya butuh Anda terlihat sungguh-sungguh dalam menyelesaikan pelbagai masalah yang timbul di sekitar mereka.” Tidak lebih dari itu. Kata kuncinya adalah “terlihat sungguh-sungguh”. Rakyat telah melewati hampir seluruh hari-hari mereka dengan ketidakpuasan menyaksikan pemimpin yang justeru terlihat sungguh-sungguh menghadirkan masalah, alih-alih menyelesaikannya.
Harapan yang sederhana ini sebenarnya bisa dilakukan dengan sangat mudah oleh siapapun pemimpinnya. Jika sekadar ingin menang, Anda mungkin tidak perlu menjadi orang yang benar-benar bersungguh-sungguh dalam menyelesaikan pelbagai masalah itu, namun dengan “terlihat” bersungguh-sungguh saja sudah cukup, iya, hanya “terlihat” bersungguh-sungguh. Saya memiliki keyakinan kuat, bahwa petahana yang kalah dalam perebutan kekuasaan pada periode kedua telah gagal meyakinkan pemilihnya bahwa ia telah bersungguh-sungguh menyelesaikan pelbagai masalah yang ada di masyarakat. Bagi saya, seorang petahana yang cerdas akan sulit memperoleh lawan tanding yang tangguh dan dengan kecerdasan itu, dia pasti bisa memikat hati para pemilihnya.
Anda bisa bertanya ulang, kenapa Zulkifli Nurdin bisa dipilih dengan suara super mayoritas pada pemilihan gubernur tahun 2005? Atau kenapa masyarakat Jakarta kelihatan lebih permisif terhadap Jokowi-Ahok atas belum tuntasnya masalah-masalah pokok yang melanda Jakarta sampai hari ini? Jawabannya hanya satu, rakyat merasa bahwa pemimpin mereka telah menunjukkan kesungguhan luar biasa dalam meyelesaikan pelbagai persoalan yang muncul. Mereka tidak terlalu mementingkan apakah pemimpinnya berhasil atau tidak. Sekali lagi, “terlihat” sungguh-sungguh saja, sepertinya sudah cukup menjadi pengobat lara mereka atas prilaku pemimpin yang kelihatannya tidak perhatian sama sekali atas apa yang menimpa mereka selama ini.
Pekerjaan Rumah Bagi HBA
Atas fenomena politik 2013 di Jambi ini, HBA diuntungkan di satu pihak, dan juga dirugikan pada pihak lain. Diuntungkan karena HBA masih punya waktu, paling tidak sepanjang tahun 2014, untuk mempersiapkan kontestasi politik pemilihan Gubernur Jambi pada tahun 2015 mendatang. HBA bisa belajar lebih banyak atas kegagalan tiga petahana pada tahun 2013 ini. Sedangkan kerugiannya adalah, boleh jadi fenomena kekalahan petahana, yang salah satunya diakibatkan oleh kekecewaan pemilih kepada para petahana lain berimbas kepada HBA.
Pola pemasaran yang tidak biasa harus digagas agar bisa menjadi satu-satunya petahana pada empat kontestasi terakhir yang menang mutlak atas para penantangnya. Mengirim sinyal “kesungguhan” menyelesaikan pelbagai persoalan kepada seluruh rakyat harus dilakukan dengan , tidak hanya cepat, tapi juga harus tepat. Karena kegagalan memberi pesan yang tepat kepada pemilih, akan menimbulkan intepretasi yang berbeda dan liar. Dan, pasti hal ini akan menjadi blunder bagi HBA sendiri.