Neraca Dagang Cetak Surplus Terbesar

Jumat 03-01-2014,00:00 WIB

Ekspor Terbantu Depresiasi Rupiah

JAKARTA - Sinyal positif meluncur dari Kantor Badan Pusat Statistik (BPS). Neraca perdagangan internasional yang sepanjang tahun 2013 sering terjerat defisit, November lalu berhasil mencatat surplus signifikan.

                Kepala BPS Suryamin mengatakan, pada November 2013 lalu, Indonesia berhasil mengerek ekspor sekaligus menekan derasnya impor. Hasilnya, neraca dagang November pun mencatat surplus USD 777 juta. “Ini sinyal positif karena merupakan surplus bulanan terbesar sejak April 2012,” ujarnya di Kantor BPS kemarin (2/1).

                Data BPS menunjukkan, ekspor November lalu mencapai USD 15,92 miliar, naik 1,45 persen dibanding periode Oktober yang sebesar USD 15,69 miliar. Sementara impor November tercatat USD  15,14 miliar, turun 3,35 persen dibanding periode Oktober yang sebesar USD 15,67 miliar.

                Sepanjang tahun 2013, neraca dagang hanya empat kali mampu mencatat surplus, yakni pada Maret USD 0,13 miliar, Agustus USD 0,07 miliar, Oktober USD 0,03 miliar, dan terakhir November USD 0,78 miliar. Jika dicermati, November ini juga merupakan pertama kalinya surplus bisa dicapai berurutan sepanjang dua bulan.

                Suryamin menyebut, lonjakan ekspor dicatat oleh komoditas lemak dan minyak hewan/nabati, terutama produk minyak kelapa sawit (CPO) yang pada November lalu mencapai USD 2,23 miliar, melesat 41,58 persen dibanding periode Oktober yang sebesar USD 1,57 miliar. “Selain volume yang naik, harga CPO di pasar internasional juga sedang membaik,” katanya.

                Sementara itu, penyusutan impor dipengaruhi oleh turunnya impor kendaraan bermotor dan bagiannya yang pada November tercatat sebesar USD 533,2 juta, turun 22,42 persen dibanding periode Oktober yang mencapai USD 687,3 juta. “Ini bisa terjadi karena stok mobil menjelang akhir tahun sudah cukup,” ucapnya.

                Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa Badan Pusat Statistik (BPS) Sasmito Hadi Wibowo mengatakan, pelemahan nilai tukar atau depresiasi rupiah juga memegang peran penting dalam kenaikan ekspor. “Dengan rupiah melemah, barang-barang kita jadi lebih murah di pasar internasional,” jelasnya.

                Ini sejalan dengan kajian Bank Dunia. Menurut Ekonom Utama Bank Dunia untuk Indonesia Ndiame Diop, depresiasi rupiah saat ini tidak perlu membuat panik. “Depresiasi ini justru bagus untuk ekonomi Indonesia,” ujarnya.

                Menurut dia, fleksibilitas pergerakan nilai tukar rupiah justru menjadi mekanisme pertahanan yang baik untuk ekonomi Indonesia. Sebab, depresiasi bisa meningkatkan daya saing produk Indonesia di pasar internasional. “Jadi, rupiah yang melemah saat ini adalah aset yang berharga untuk ekonomi Indonesia,” katanya.

(owi)

Tags :
Kategori :

Terkait