Bisa Tempuh Jalur Hukum
JAKARTA- Benang rumit pada hilirisasi industri pertambangan mineral Indonesia belum bisa terurai. Hal tersebut ditunjukan pada protes keras pengusaha tambang terhadap kebijakan bea ekspor progresif oleh Kementerian Keuangan. Dua raksasa pertambangan yakni PT Newmont dan Freeport pun turut mengeluarkan protes. Bahkan, perusahaan tersebut siap menempuh jalur hukum.
Senior Vice President Newmont untuk Indonesia Blake Rhodes mengatakan, pihaknya merasa kebijakan larangan ekspor mineral yang baru berlaku pada Januari 11 2017 tak berpengaruh. Pasalnya, pihaknya memperkirakan bakal terbebani dari beberapa aturan pembatasan dan kewajiban ekspor. Karena itu, pihaknya meminta kejelasan ke pada pemerintah terkait detil aturan pembatasan untuk mengkalkulasi dampak operasional PT Newmont Nusa Tenggara PTNNT) di pertambangan Batu Hijau.
\"Kontrak Karya (KK) yang ditandatangani bersama pemerintah Indonesia sudah memberikan PTNNT hak untuk mengekspor konsentrat tembaga yang sudah diproses oleh fasiltas pengolahan Batu Hijau. Kontrak tersebut juga sudah menyebutkan secara jelas tentang tipe dan besaran pajak, pungutan, dan kewajiban yang wajib dibayarkan PTNNT,\" tegasnya dalam keterangan tertulis Rabu (22/1).
Dalam hal ini, pihaknya bakal terus berkomunikasi dengan pemerintah untuk mencari solusi dari permasalahan tersebut. Selain itu, pihaknya juga siap menempuh cara-cara lainnya. \"Termasuk kemungkinan adanya upaya hukum. Newmont akan kembali memberi penjelasan mengenai isu terkait,\" tambahnya.
Dia menjelaskan, saat ini, PTTNT tengah mengoperasikan fase enam di Batu Hijau untuk menambang biji tembaga yang lebih berkualitas tahun ini. Perseroan juga sudah memutuskan untuk mengekspor konsentrat tembaga hingga kuartal pertama 2014 berakhir. Hal itu karena semua pengiriman sudah dilakukan pada awal Januari. \"Nilai tambah yang dihasilkan dari fasilitas pengolahan Batu Hijau lebih dari 50 kali dibandingkan biji tembaga mentah. Kami juga sudah mendukung industri smelter di Indonesia dengan mengirimkan konsentrat tembaga yang dapat diserap ke PT Smelting Gresik,\" ujarnya.
Sejak 2000, lanjut dia, pihak perusahaan telah membayar lebih dari USD 3 miliar dalam bentuk pajak dan royalti kepada pemerintah. Ditambah lagi, biaya investasi yang mencapai sekitar USD 10 juta per tahun. \"Sekitar 9 ribu orang termasuk pekerja dan kontraktor bekerja di Batu Hijau. Ini mendukung ekonomi lokal serta pengembangan sosial dan ifnrastruktur,\" imbuhnya.
Sementara itu, pihak Freeport McMoRan Copper & Gold, Inc, Induk dari PT Freeport Indonesia (PTFI), turut mengeluarkan keluharan. Hal itu diungkapkan dalam laporan kinerja kuartal IV dan akhir tahun 2013. Menurut mereka, regulasi yang membolehkan ekspor sampai 2017 dinetralkan oleh pemberlakuan bea ekspor progrsif dari 25 persen sampai 60 persen pada pertengahan 2016.
\"KK PTFI mempunyai masa kontrak hingga 2021 dan bisa diperpanjang dau kali 10 tahun hingga 2041 dan sudah disetujui oleh pemerintah. Kontrak tersebut mengizinkan ekspor konsentrat dan menetapkan pajak dan kebijkana fiskal lainnya. KK tersebut juga telah menyatakan tidak terkena pajak dan bea atau biaya selain yang sudah tercantum di kontrak. Regulasi pada Januar 2014 sendiri sudah bertentangan dengan kontrak tersebut,\" seperti yang dikutip dalam keterangan tertulis kemarin (23/1).
Piha Freeport pun sudah meneaskan telah memenuhi persyaratan pengolahan lokal sesuai dengan KK. Hal itu dilakukan dengan pengoperasioan PT Smelting sebagai afiliasi PTFI pada 1998. \"Pada 2014, sekitar 40 persen dari perkiraan produksi bakal dipasok ke fasilitas tersebut. Sisanya bakal dikirimkan kepada perusahaan smelter yang sudah terikat dalam kontrak jangka panjang.\"
(bil/oki)