JAKARTA - Pelaksanaan pemilu serentak pada 2019 sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK), tampaknya, mengilhami Komisi II DPR dalam menuntaskan pembahasan RUU Pilkada. Panja RUU Pilkada mengusulkan, pilkada serentak dilakukan setelah pelaksaan Pemilu 2019.
Anggota Komisi II A. Malik Haramain mengungkapkan, dalam rapat konsinyering antara komisi II dan pemerintah disebutkan bahwa pelaksanaan pilkada serentak yang paling mungkin adalah pada 2020. “Persoalannya memang di jadwal. Sebab, tahun itulah banyak jadwal pilkada yang berdekatan dengan 2020,” kata Malik kemarin (24/1).
Secara prinsip, kata dia, usul pelaksaan pilkada serentak pada 2020 sudah disetujui. Namun, pemerintah masih harus mencari payung hukum yang memberikan legitimasi pelaksanaan pilkada serentak itu. Pasalnya, bagi kepala daerah yang terpilih pada 2016, 2017, atau 2018, masa jabatannya tidak sampai lima tahun jika diterapkan pilkada serentak 2020.
Berbeda jika masa jabatan lebih dari lima tahun, itu bisa disiasati dengan pejabat sementara (Pjs). “Kalau kurang, itu yang menjadi masalah. Khawatir dibawa ke MK. Makanya, kami mencoba untuk tegaskan dulu. Prinsipnya, kami mau mencoba pada 2020,” terang Malik.
Meski begitu, lanjut anggota Fraksi PKB itu, belum diputuskan bagaimana mekanisme pemberlakuan pilkada serentak itu. Malik mengungkapkan, untuk pemilihan gubernur memang sudah disepakati dengan menggunakan pemilihan langsung. Namun, untuk bupati/wali kota, masih terjadi perbedaan pendapat. Pemerintah dan beberapa fraksi menginginkan mekanismenya dikembalikan ke pemilihan oleh DPRD. Sebagian fraksi yang lain tetap menginginkan bupati/wali kota dipilih secara langsung.
Klausul tentang pilkada serentak memang menjadi perdebatan dalam pembahasan RUU Pilkada. Bahkan, itu terjadi sejak sebelum adanya putusan MK tentang pemilu serentak. “Bagi PKB, kalau pilkada dilaksanakan serentak, lebih baik semua langsung. Kalau pemilihan gubernur, bupati, wali kota dilaksanakan bareng, enak mengatur kalender politiknya,” katanya.
Selain unggul dalam hal efisiensi, pilkada serentak juga meminimalkan terjadinya konflik. “Konflik hari-hari ini salah satu penyebabnya karena pilkata tidak dilakukan secara serentak. Jadi, tiap tahun, tiap bulan, ada konflik,” sambungnya.
Anggota Komisi II DPR dari Fraksi Golkar Nurul Arifin mengatakan, pelaksanaan pilkada secara serentak akan memastikan bahwa sistem yang dianut rasional dan tidak bertele-tele. “Dari sisi anggaran, kita bisa berhemat. Juga menghindari kebosanan terhadap beragamnya pemilihan,” katanya.
Menurut dia, jika pilkada dilaksanakan serentak, beban anggarannya akan dipikul oleh APBN. Selain itu, kampanye bisa saja diserahkan kepada KPU. “Dengan begitu, calon kepala daerah hanya berfokus kepada kampanye dialogis. Kita pun dapat melihat kualitas intelektualnya,” kata Nurul.
Sementara itu, terkait dengan isu-isu krusial dalam RUU Pilkada, ada usul baru yang didasari pengalaman kasus Bupati Gunung Mas terpilih Hambit Bintih yang berurusan hukum di KPK. Malik mengatakan, jika seorang kepala daerah yang terpilih dan sudah ditetapkan oleh KPU itu ditetapkan sebagai tersangka sebelum dilantik, pelantikannya harus ditunda.
“Pelantikannya harus ditunda sampai ada status yang lebih jelas. Tinggal Kemendagri menunjuk Plt (pelaksana tugas) atau yang lain untuk menjaga efektivitas pemerintahan, sampai ada status terbaru dari yang bersangkutan,” kata Malik.
(fal/c4/fat)