Sel Kanker Ganas dan Parasit Dunia Pendidikan

Selasa 25-02-2014,00:00 WIB
Oleh:

Oleh : Wenny Ira R, S.IP., M.Hum

                Kasus plagiarisme yang disinyalir dilakukan oleh akademisi dengan jabatan akademik setaraf profesor dari kampus terkenal di Indonesia, kembali menyeruak kehadapan publik di bulan kedua tahun 2014 ini. Sosok Anggito Abimanyu yang beken dengan sebutan AA, seorang dosen di fakultas ekonomi kampus terkenal di Indonesia itu, terindikasi melakukan kegiatan plagiarisme penulisan sebuah artikel opini di media massa nasional. Terakhir yang bersangkutan dengan segala argumen yang dipertahankannya mengenai kasus plagiarisme yang menimpanya itu, memilih untuk mengundurkan diri dari institusi tempatnya bekerja.

                Mundurnya AA atas kesadaran pribadi dari institusi tempatnya bekerja merupakan langkah kesatria dalam dunia akademik. Tak semua pegiat plagiarisme dari kalangan akademisi rela melakukan apa yang seperti AA lakukan ini. Jangankan kasus plagiarisme, yang tersangkut kasus amoralpun hanya dilepas dari jabatannya, tetapi dengan bangga masih bertahan di institusi pendidikan tempatnya bekerja.

                Banyak pendapat mengatakan bahwa apa yang dilakukan oleh AA merupakan sebuah tamparan bagi dunia pendidikan, khususnya pendidikan tinggi. Tapi bagi penulis, tamparan dalam kasus plagiarisme ini sudah merupakan hal biasa dalam kancah dunia pendidikan di Indonesia, khususnya pendidikan tinggi. Sepertinya plagiarisme sudah menjadi suatu budaya dalam dunia pendidikan tinggi di Indonesia, seiring dengan semakin banyaknya kampus dibuka di seluruh nusantara hingga kepelosok, dari yang level bonafid sampai level abal-abal. Tak kalah perguruan tinggi negeripun yang haus membuka beragam fakultas dan program studi, kian meramaikan sense of plagiarisme didalamnya.

                Jika beberapa kampus terkenal dan nomer wahid di Indonesia  disinyalir telah memiliki sistem pendeteksi karya tulis yang terindikasi hasil plagiarisme, serta dosen-dosennya dengan penuh tanggung jawab dapat mengkontrol tugas perseorangan mahasiswanya yang juga terindikasi plagiarisme. Dilapisan bawah pada perguruan tinggi yang tidak nomer wahid apalagi didaerah baik negeri maupun swasta, yang tak punya sistem pendeteksi plagiarisme, tak usah dikatakan, dengan memejamkan matapun sebagian besar tugas yang dikumpulkan mahasiswa itu murni hasil jiplakan dari ribuan artikel berbasis mesin pencari google.

                Kondisi ini diperparah dengan fakta banyak oknum dosen yang menjadi ghost writer dalam pembuatan skripsi mahasiswa, juga tesis dan disertasi. Atau setidaknya jika bukan menjadi ghost writer skripsi, teman penulis menyebutnya menjadi ghost rider bagi broker ghost writer  skripsi, tesis dan disertasi dari luar kampus. Sedikit konsultan karya ilmiah ini yang mau berlaku profesional dalam menjalankan pekerjaannya sebagai ghost writer di bidang ini.  Kebanyakan mereka bekerja sangat tidak profesional, yaitu dengan cara mewujudkan karya ilmiah yang mana seluruh kata-kata dan bagian-bagiannya, dari pendahuluan hingga daftar pustaka hasil copy-paste dari ribuan artikel dan karya tulis yang tersebar di internet, terutama melalui jasa mesin pencari google.

                Ada bukti banyak karya tulis terutama skripsi yang sangat memusingkan dosen pembimbing dan penguji akibat ulah ghost writer tidak profesional ini, dan terkadang oknum dosen ghost rider –nya ikut pura-pura pusing dengan pembimbing maupun penguji. Dari kesalahan kata, lupa menghapus nama daerah lokasi asal asli penelitian, hingga parahnya adalah daftar pustaka yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan konten karya ilmiah yang sedang diusung.

                Banyak alasan mengapa profesi sebagai ghost writer  maupun ghost rider karya ilmiah ini bercokol bagai parasit dan sel kanker di dunia pendidikan. Kesempatan bersekolah setinggi-tingginya telah dibuka lebar di Indonesia bagi semua kalangan, dengan berbagai variasi biaya yang dapat dijangkau, baik itu swasta maupun negeri. Syarat untuk masuk perguruan tinggi saat inipun cenderung mudah dibandingkan dengan jaman sebelumnya, apalagi yang  pada taraf master, doktor, pun apalagi kelas jauh, kelas weekendnya, kelas ekstensinya. Satu syarat yang cukup mumpuni, yaitu ketersediaan finansial yang mencukupi. Hal ini didukung pula oleh permintaan dunia kerja baik swasta maupun PNS yang mensyaratkan gelar kesarjanaan bagi pekerjanya. Gelar kesarjanaan ini rupanya yang menjadi sebuah objek sasaran mengapa berbondong-bondong ribuan orang memasuki dan lulus dari perguruan tinggi di Indonesia setiap tahunnya.

                Ketersediaan gelar yang dipasarkan dengan mudah oleh perguruan tinggi baik negeri maupun swasta dengan beragam biaya dan tempo waktu studi menempuhnya, ditambah lagi fakta mengerikan bahwa saat ini perguruan tinggi swasta maupun negeri berlomba memenuhi target mahasiswa sebanyak-banyaknya demi keuntungan lembaga tanpa memperdulikan kualitas mahasiswa yang akan duduk mengisi bangku-bangku kuliah, turut menumbuh suburkan perkembang biakan sel kanker dan parasit profesi ghos writer dan ghost rider  karya ilmiah ini.

                Ketika pendidikan diperkenalkan pertama kali di Indonesia, hanya membawa satu semangat bagaimana memelek hurufkan orang-orang Indonesia, dan bagaimana kemudian tenaga-tenaga melek huruf ini dapat mengisi pos-pos pekerjaan rendahan yang mulai memodernisasi lembaganya dan membutuhkan kemampuan baca, tulis, hitung. Perkembangan selanjutnya bagaimana mencetak tukang dengan keahlian tertentu dan itu dibutuhkan sertifikat bergelar sarjana dari berbagai bidang.

                Bukanlah sesuatu yang mengherankan jika kemudian setiap individu yang memasuki dunia pendidikan banyak yang tidak memahami konsekuensi menjadi manusia akademis. Sebagai manusia akademis yang tidak hanya sekedar dapat membaca, menulis, menghitung, kemudian mendapat selembar sertifikat gelar sarjana untuk memenuhi kebutuhan dunia kerja dan kuli, pada hakikatnya di bebankan suatu amanah oleh ilmu pengetahuan yang dipelajarinya.  Amanah itu adalah bagaimana ilmu pengetahuan dapat dijadikan sesuatu yang bermanfaat bagi perkembangan manusia juga peradaban dengan satu sikap, jujur. Ya, kejujuran ilmiah sangat dibutuhkan dalam memandang ilmu pengetahuan, mendapatkannya, juga mengapkikasikannya, terkait dengan gelar kesarjanaan yang akan digenggam nantinya. Peradaban terbentuk dengan baik, karena kejujuran ilmiah pada bidang ilmu pengetahuannya di junjung tinggi, bukan sense of plagiarisme asal jadi dan instan yang menghancurkan ilmu pengetahuan bagai sel kanker ganas dan parasit bandel di dunia pendidikan.

(Wakil Ketua II dan dosen tetap pada program studi Ilmu Pemerintahan STISIP Nurdin Hamzah Jambi, anggota Pelanta)

Tags :
Kategori :

Terkait