Elviana : Pemerintah Harus Kendalikan Harga Obat

Rabu 05-03-2014,00:00 WIB

JAKARTA - di Indonesia harga obat jauh lebih mahal di banding harga obat di luar negeri seperti Singapura dan Malaysia. Mahalnya harga obat di Indonesia terjadi karena tidak ada kontrol dari pemerintah atas industri farmasi, sehingga perusahaan farmasi menaikkan harga sesuka mereka. Hal ini terungkap pada acara Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) dengan Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia (BPOM RI) dan Ikatan Dokter Indonesia (IDI), yang dilaksanakan pada tanggal 3 Maret 2014 di Gedung DPD RI, Jakarta.

“Idealnya harga obat ditentukan dan dikendalikan oleh pemerintah, namun dalam praktiknya, yang berperan menentukan harga obat adalah perusahaan farmasi, ini kan sudah melukai hati rakyat,” jelas Dra. Hj. Elviana, M.Si, Ketua Komite III DPD RI saat memimpin rapat.

Lebih jauh Dra. Hj. Elviana, M.Si, legislator dengan suara terbanyak di daerah pemilihan Jambi pada Pemilu 2009 yang lalu ini menyampaikan bahwa harus ada itikad baik dari berbagai pihak untuk menghadirkan obat yang murah dan berkualitas bagi masyarakat.

Oleh sebab itu, Komite III DPD RI sesuai dengan kewenagannya yang diatur dalam Pasal 22D Undang-Undang Dasar 1945, dimana DPD RI memiliki kewenangan mengajukan dan membahas Undang-Undang. Maka dalam kesempatan ini DPD RI berinisiatif membuat Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Praktik Kefarmasian. “Ini adalah upaya untuk mendorong pemerintah agar memberikan pelayanan yang baik terhadap masyarakat dalam menciptakan masyarakat yang lebih baik,” imbuh Dra. Hj. Elviana, M.Si, yang juga Calon Anggota DPR RI dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Nomor Urut 1, di daerah pemilihan Jambi yang akan kembali bertarung pada Pemilihan Umum 9 April mendatang.

Sementara itu Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Dr. Zainal Abidin, dalam kesempatan yang sama menyampaikan bahwa keterjangkauan harga obat, lebih banyak ditentukan oleh Pemerintah. ”Harga obat harus dievaluasi dan ditetapkan berdasarkan unit cost yang rasional, jangan sampai harga obat hanya ditentukan oleh industri. Industri farmasi ditenggarai menaikkan harga obat minimal menaikkan obat 3 kali setahun, tanpa kenaikan cost unit produksi apapun,” jelas Dr. Zainal Abidin.

Ketika ditanya persoalan adanya dokter yang ”bermain mata” dengan perusahaan obat, Dr. Zainal Abidin menjawab secara diplomatis. Menurutnya, berdasarkan Kode Etik Kedokteran, seorang dokter boleh disponsori oleh perusahaan farmasi untuk meningkatkan pengetahuan atau pendidikan. ”Akan tetapi hal itu bukan untuk kepentingan selain pendidikan, jadi kalau ada dokter dan keluarganya jalan-jalan ke luar negeri dibiayai oleh perusahaan farmasi ini jelas menyalahi kode etik,” papar Dr. Zainal Abidin dihadapan Anggota Komite III DPD RI.

 Saat ini DPD RI sedang menghimpun berbagai masukan dari pihak-pihak terkait dalam rangka menyusun RUU tentang Praktik Kefarmasian. RUU tentang Praktik Kefarmasian ini diharapkan agar bisa memenuhi rasa keadilan di tengah-tengah masyarakat.

(adv)

 

Tags :
Kategori :

Terkait