Oleh : Hendri. Y, SP*
Pemilu legislative tinggal satu bulan lagi, waktu yang singkat ini dimanfaatkan oleh partai politik dan para calon anggota legislative (caleg) untuk meraih simpati masyarakat sebanyak-banyaknya. Usaha mencari simpati dilakukan dengan berbagai cara, mulai dengan memberikan bantuan, sumbangan, tebar poster dan baliho, silaturahim ketokoh masyarakat, mengadakan turnamen sampai ada yang menginap dirumah-rumah penduduk. Berbagai cara ini tidak lain adalah untuk dipilih pada 9 April 2014 mendatang. Sosialisasi tidak hanya dipusat-pusat kota akan tetapi sampai kedaerah pelosok yang notabenenya mayoritas berprofesi sebagai petani.
Data statistik menunjukan, 54% pekerjaan utama masyarakat Jambi adalah bertani. Angka ini tentunya menjadi perhitungan tersendiri bagi partai politik dan caleg untuk meraup suara dikantong-kantong petani. Dengan kondisi ini menyebabkan petani berada dipusaran politik legislative 2014 dimana suara petani sangat menentukan persentase perolehan suara peserta pemilu nantinya. Mengingat berada dipusaran, maka ada dua kemungkinan yang akan terjadi. Pertama, arus utama akan ditentukan oleh petani itu sendiri karena berada dipusaran, semua kandidat pemilu akan berkolaborasi bersama petani sehingga petani menjadi subjek politik, jika ini yang terjadi maka petani menjadi decession maker. Kedua, petani hanya berada dipusaran dan tidak berada dipusat arus, jika ini yang terjadi maka petani akan menjadi rebutan setiap kandidat peserta pemilu. Jika diibaratkan, petani seperti hidangan dimeja makan, setiap saat akan disantap dan dimakan oleh siapapun. Pada kondisi ini, petani hanya menjadi objek penderita.
Berkaca pada pemilu-pemilu sebelumnya, posisi tawar petani amatlah rendah. Petani selalu dijadikan ajang kamuflase politik kelompok feodalkapitalis, jargon “peduli wong cilik”,”peduli dengan petani”,”membela petani” dan seterusnya adalah bahasa-bahasa yang sering disematkan menjelang pemilu. Jargon ini seolah mampu menghipnotis sebagian besar petani sehingga luluh hati untuk memberikan suaranya kepada pembuat jargon saat pencoblosan. Maraknya iklan dan tingginya rating kampanye peduli petani ini membuat espektasi petani menjadi semakin tinggi terhadap tokoh dan partai tertentu karena akan diperhatikan suatu saat nanti. Jika hal ini terus terjadi, maka selamanya petani hanya akan menjadi objek penderita, selamanya petani akan menjadi korban keganasan politik kamuflatif.
Agar petani tidak menjadi korban politik kamuflatif, setidaknya ada tiga hal yang mesti dilakukan petani, antara lain:
Pertama, lalukan evaluasi terhadap kinerja partai politik dan anggota legislative periode 2004-2009.
Cara ini sangat ampuh untuk menseleksi calon partai ataupun calon anggota dewan yang akan dipilih nantinya. Selama rentang waktu lima tahun belakang, apa saja yang dilakukan oleh partai politik ataupun anggota dewan yang dulu pernah dipilih, seberapa besar kontribusinya bagi peningkatan kesejahteraan petani, seberapa banyak anggaran yang diperjuangkan, seberapa sering melakukan pendampingan terhadap kasus-kasus yang dialami oleh petani, dan seberapa sering menyuarakan kepentingan petani. Pertanyaan-pertanyaan seperti ini mutlak diajukan oleh setiap petani guna mengukur kadar kepedulian partai dan caleg terhadap petani. Ini adalah alat ukur sederhana yang bisa digunakan oleh petani sebelum memberikan dukungan dan menjatuhkan pilihan saat pemilu.
Evaluasi seperti ini akan menjadi tamparan telak bagi partai ataupun caleg karena akan sangat kelihatan mana partai dan caleg yang menepati janjinya dan mana yang hanya suka tebar janji untuk dikhianati. Dari evaluasi ini juga, petani akan dengan mudahnya beradu argmentasi dengan para kandidat bahkan bisa membuat kontrak politik diatas materai yang mana suatu saat nanti berguna menutut janji-janji politik yang pernah diucapkan para kandidat tersebut.
Kedua, lakukan kontrak politik.
Kontrak politik adalah langkah antisipatif bagi petani untuk meminimalisir kesalahan pada masa lampau. Dengan kontrak politik ini diharapkan petani memiliki posisi tawar yang kuat, apatah lagi sebagian kandidat berdomisili didaerah yang sama dengan masyarakat petani. Disamping langkah antisipatif, kontrak politik juga sebagai sarana pencerdasan politik dari partai dan caleg. Karena dengan adanya kontrak politik ini tangggungjawab sebagai lembaga politik telah berjalan, walaupun pertanggungjawaban secara hukum masih menjadi perdebatan akan tetapi setidaknya sebagai tanggungjawab moral bagi partai politik dan anggota legislative.
Ketiga, lakukan monitoring terhadap pergerakan partai dan caleg.
Biasanya mendekati hari-H pemilihan, partai politik dan caleg semakin gencar melakukan gerilya keseluruh pelosok untuk memenangkan pemilihan. Berbagai cara sudah pasti ditempuh, dan cara yang paling manjur adalah “serangan fajar”. Serangan fajar tidak hanya untuk membeli suara petani saat akan mencoblos, tapi juga membeli suara ditingkat panitia pemungutan suara. Oleh sebab itu, petani harus lebih jeli melihat setiap gerak para kandidat dan secara bersama-sama melakukan monitoring atas kegiatan yang dilakukan didaerahnya.
Langkah monitoring ini sebagai antisipasi petani dalam memilih dan memilah calon partai dan anggota legislative yang akan dipilih nantinya. Sekaligus sebagai warning bagi partai politik dan caleg untuk tidak lagi menjadikan petani sebagai objek penderita dalam setiap kontestasi politik, sehingga keberadaan petani dipusaran politik 2014 ini berubah menjadi pusat arus yang akan menentukan arah perubahan.
Wallahu alam!
*penulis adalah Widyaiswara di BPP Jambi-Kementerian Pertanian RI