Birokrasi Ruwet Hambat Implementasi Kebijakan
JAKARTA - Akhir 2013 lalu, iklim investasi di Indonesia sempat dinaungi optimisme tinggi. Ini setelah pembahasan Daftar Negatif Investasi (DNI) yang cukup alot akhirnya tuntas. Sayangnya, kini optimisme itu meredup kembali gara-gara pengesahan revisi DNI molor. Ruwetnya birokraasi dituding sebagai penyebabnya.
Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa mengatakan, proses administrasi penerbitan Peraturan Presiden sebagai revisi aturan DNI terdahulu memang harus melalui beberapa institusi sebelum ditandatangani presiden. “Harusnya sudah diteken,” ujarnya kemarin (19/3).
Sekjen Kementerian Koordinator Perekonomian Eddy Abdurahman menambahkan, dari mulai proses pembahasan hingga pengesahan, payung hukum memang harus melewati serangkaian proses di birokrasi pemerintahan. “Hasil pembahasannya sudah diserahkan ke Setkab (Sekretaris Kabinet) Januari lalu, jadi masih diproses di sana,” katanya.
DNI adalah daftar sektor-sektor yang tertutup sebagian atau seluruhnya bagi investasi swasta, baik asing maupun dalam negeri. Aturan tersebut ditetapkan melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 36 Tahun 2010. Namun, sejak diterbitkan, banyak investor yang mengusulkan revisi karena rencana investasinya terbentur pada aturan tersebut.
Pembahasan revisi yang berlangsung lebih dari dua tahun akhirnya menyepakati untuk memperlonggar kepemilikan investor asing pada sektor usaha tertentu seperti pengelolaan terminal barang darat, operator bandara, pengusahaan air minum, pengusahaan jalan tol, pembangkit listrik, hingga farmasi. Selain itu, demi mendukung pengusaha dalam negeri, pemerintah memperketat kepemilikan asing di sektor pertanian.
Molornya pengesahan revisi DNI ini juga menjadi sorotan Bank Dunia. Ekonom Utama Bank Dunia di Indonesia Ndiame Diop mengatakan, penundaan pengesahan revisi DNI merupakan salah satu penyebab ketidakpastian iklim usaha di Indonesia di mata investor asing. “Ketidakpastian adalah hal yang paling ditakuti investor,” ujarnya.
Lambannya eksekusi kebijakan rupanya tidak hanya terjadi dalam revisi DNI, namun juga pada rencana peningkatan tarif Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) untuk mobil mewah dengan kapasitas mesin di atas 3.000 cc dari 75 persen menjadi 125 persen. Tujuannya, untuk mengerem tingginya impor mobil mewah ke Indonesia untuk meringankan defisit neraca perdagangan.
Kementerian Keuangan sebenarnya sudah menyelesaikan draft Peraturan Pemerintah (PP) perubahan tarif sejak tahun lalu. Namun, hingga kini draft tersebut masih berputar-putar di berbagai kementerian lain sebelum nanti masuk ke meja presiden. “Birokrasi kita masih seperti ini, diudag-udag (dikejar-kejar) juga masih begitu,” kata Hatta.