Politik Ekonomi Syariah

Jumat 21-03-2014,00:00 WIB
Oleh:

 

Keadilan Distribusi sebagai Kebijakan Utama

Terminologi keadilan dalam al – Quran disebutkan dalam berbagai istilah, antara lain ‘adl, qisth, mizan, hiss, qasd  atau variasi ekspresi tidak langsung, sementara untuk terminologi ketidakadilan adalah zulm, itsm, dhalal, dan lainnya. Setelah kata ‘Allah’ dan ‘pengetahuan’, keadilan dengan berbagai terminologinya merupakan kata yang paling sering disebutkan dalam al – Quran (P3EI UII dan BI, 2012).

Dari berbagai makna adil dan keadilan, serta implementasinya di atas, dipahami bahwa keadilan dalam distribusi, merupakan satu kondisi yang tidak memihak pada salah satu pihak atau golongan tertentu dalam ekonomi, sehingga menciptakan keadilan merupakan kewajiban yang tidak bisa dihindari dalam ekonomi Islam. Keadilan dalam distribusi diartikan suatu distribusi pendapatan dan kekayaan, secara adil sesuai dengan norma-norma fairness yang diterima secara universal. Keadaan sosial yang benar ialah keadaan yang memprioritaskan kesejajaran, yang ditandai dengan tingkat kesejajaran pendapatan (kekayaan) yang tinggi dalam sistem sosial. Serta memberikan kesempatan yang sama dalam berusaha, dan menjamin terwujudnya aturan yang menjamin setiap orang mendapatkan haknya berdasarkan usaha-usaha produktifnya. Di samping itu, yang tak kalah pentingnya ialah memastikan bahwa struktur produksi harus menjamin terciptanya hasil-hasil yang adil, (Syed Nawab Haidar Naqvi, 1994) agar kekayaan tidak menumpuk pada sebagian kecil masyarakat, tetapi selalu beredar dalam masyarakat, menjamin terciptanya pembagian yang adil dalam kemakmuran (Ruslan Abdul Gafur, 2011).

Dari konsepsi tersebut di atas, timbul pertanyaan untuk kita semua. Apakah cabang-cabang produksi di daerah sudah difungsikan secara maksimalkan untuk kesejahteraan rakyat di daerah ? apakah telah terpunhi konsepsi keadilan dan pemerataan kesejahteraan bagi seluruh warga ? pertanyaan-pertanyaan demikian kerap kita suguhkan dalam diskusi di ruang publik. Namun, jawaban sumir terkadang lahir dari semua upaya gugatan rakyat kecil – elit   pinggiran di negeri ini. Sebab, pemerintah terkadang dengan berbagai dalih angka-angka statistika terkadang akan mengatakan jika keadilan ekonomi, kesejahteraan dan pemerataan pembangunan ekonomi telah terwujud dengan program-program pembangunan yang berkelanjutan - - kilah pemerintah.

Akan tetapi bagaimana dengan hasil penelitian oleh segenap peneliti dan akademisi ? terkadang jauh berbeda dengan angka yang dimiliki oleh pemerintah. Meski tidak penulis cantumkan dalam tulisan singkat ini, namun sudah menjadi rahasia umum jika data yang dimiliki oleh tim pemerintah dengan data yang dimiliki oleh peneliti murni akademisi cenderung berseberangan. Contoh kecilnya adalah soal angka kemiskinan dan pengangguran. Keadilann distribusi yang membangun kesejahteraan dan pemerataan pendapatan, pembangunan ekonomi, dan kemakmuran bisa dilihat dari konsep Islam mengajarkan pemberian dan pemberlakuan filantropi yang konseptual dan dipertanggungjawabkan secara moral etis.

 

ZISWAF, Konsep dan Aplikasi Kesejahteraan

Zakat, sebagai bentuk tanggung jawab moral etis yang bersifat fardlu ‘ain bagi individu muslim, merupakan konsep pemerataan pendapatan dan kesejahteraan dalam wilayah ekonomi kenegaraan. Namun, pergeseran akan penyaluran zakat sebagai media pertanggungjawaban moral muslim kepada agama dan juga negara, saat ini Zakat dilembagakan dalam bentuk Badan Amil Zakat Nasional (Daerah), yang menghimpun dan menyalurkan kepada para mustahik, jika diwujudkan secara produktif, maka akan mempu memberdayakan ekonomi kerakyatan dari mental pemalas dan pemelas menjadi menjadi mental pemberi muzakki dikemudian hari. Artinya, zakat tidak sekedar sumbangan konsumtif yang habis pakai sekali guna, namun dapat difungsikan dengan berbagai arah melalui pembentukan community Development Program, pendampingan wirausaha berkelanjutan dan sebaginya.

Demikian juga halnya dengan Infak, Shadaqah dan Wakaf. Sudah semestinya negara memainkan peranan yang lebih dalam mendayagunakan peotensi sumber-sumber filantropi Islam tersebut dengan membentuk lembaga negara yang memberikan manfaat lebih dan berdayaguna dalam bentuk produktivitas penyaluran dan penggunaannya, tidak sekedar yang bernuansa konsumtif yang hanya akan melahirkan masyarakat pemalas. Sebagai contoh Bantuan Langsung Tunai, bukan berarti tidak bermanfaat, tetapi hanya akan memberikan beban sosial yang tinggi dikemudian hari, bagaimana jika dana BLT tersebut difungsikan sebagai bentuk alokasi pemberdayaan masyarakat melalui, program-program sejuta wirausahawan dsb. Lebih bermanfaat, dan tidak merendahkan Indonesia dimata bangsa lain.

Oleh karena itu, konsepsi Ekonomi Syariah yang berlandaskan kepada al – Quran dan al – Hadits Nabi saw yang memiliki orientasi at – tauhid, an – Nubuwwah, al – ‘adl, al – Tazkiyah, al – Ma’ad, al – Falah, merupakan konsep ekonomi pembangunan berkelanjutan yang tepat gunan dengan instrumen-instrumen ekonomi dan keuangan serupa ZISWAF tersebut, sebagai sumber filantropi Islam mencapai kesejahteraan bersama. Jika demikian, kenapa tidak kita sadur kebijakan ekonomi Syariah dalam konteks negara ? wallahu A’lam.

(Suwardi., SE. Sy adalah Wakil Direktur FiSTaC )

Tags :
Kategori :

Terkait