Neraca Dagang Kembali Surplus

Rabu 02-04-2014,00:00 WIB

JAKARTA-Kinerja perdagangan internasional Indonesia terlihat membaik. Setelah mencatat surplus neraca dagang pada Oktober, November, dan Desember 2013, neraca dagang sempat mengalami defisit USD 430 juta pada Januari 2014 lalu. Namun, pada periode Februari 2014, neraca dagang kembali surplus.

Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suryamin mengatakan, surplus terjadi karena ekspor periode Februari naik, sedangkan impor justru turun. Penurunan impor tersebut dipicu oleh depresiasi nilai tukar rupiah sehingga produk impor makin mahal, serta tingginya suku bunga acuan BI Rate sehingga pelaku usaha menahan ekspansi. “Ini imbas kebijakan pengetatan ekonomi,” ujarnya kemarin \"(1/4).

Data BPS menunjukkan, realisasi ekspor Februari mencapai USD 14,57 miliar, naik dibanding periode Januari yang sebesar USD 14,47 miliar. Adapun impor turun dari USD 14,49 miliar pada Januari menjadi USD 13,78 miliar pada Februari. Dengan demikian, neraca dagang tercatat surplus USD 785 juta.

Menurut jenis barang, semua kelompok menunjukkan penurunan impor. Misalnya, impor barang konsumsi yang turun dari USD 985,1 juta pada Januari 2014 menjadi USD 899,3 juta pada Februari 2014. Lalu, impor bahan baku/penolong turun dari USD 11,30 miliar menjadi USD 10,54 miliar. Adapun impor barang modal turun dari USD 2,62 miliar menjadi USD 2,33 miliar.

Bagaimana dengan ekspor hasil tambang\" Suryamin mengatakan, sejak diberlakukannya larangan ekspor hasil tambang mentah (ore) pada Januari lalu, nilai ekspor tambang memang langsung turun signifikan. Sepanjang Januari - Februari 2014, nilai ekspor produk tambang hanya USD 3,85 miliar, turun 24,36 persen dibanding periode sama tahun 2013 yang mencapai USD 5,09 miliar. “Akibatnya, kontribusi ekspor tambang terhadap total ekspor juga turun dari 16,76 persen pada 2013 menjadi 13,25 persen tahun ini,” katanya.

Edimon Ginting, Ekonom Senior yang juga Deputy Country Director Asian Development Bank (ADB) di Indonesia, mengatakan jika tren surplus neraca dagang berpotensi dinikmati Indonesia pada 2014 dan 2015. “Ini karena faktor depresiasi (rupiah) dan membaiknya permintaan global. Polanya sama dengan ekspor setelah krisis dan depresiasi tajam rupiah 2008,” ujarnya.

Meski demikian, lanjut dia, efek depresiasi yang membuat produk Indonesia makin kompetitif di pasar internasional itu akan terkikis seiring penguatan nilai tukar rupiah dan naiknya konsumsi domestik karena inflasi yang rendah. Karena itu, jika Indonesia ingin mempertahankan surplus neraca dagang secara berkelanjutan, perbaikan struktural harus dilakukan, misalnya dengan peningatan infrastruktur dan produktifitas. “Jika tidak, defisit akan makin berat mulai 2016 nanti,” jelasnya.

(owi)

 

                

Tags :
Kategori :

Terkait