Pembelian Rumah
Melalui KPR Berkurang
JAKARTA- Perusahaan properti mulai merasakan berkurangnya demand pembelian rumah melalui Kredit Pemilikan Rumah (KPR). Pada saat yang sama terjadi kenaikan harga properti yang semakin menjauhkan daya jangkau terutama untuk masyarakat pembeli rumah pertama.
Berkurangnya porsi pembelian properti melalui KPR salah satunya dirasakan grup Ciputra. PT Ciputra Surya Tbk (CTRS) mencatat cara bayar pembelian produknya melalui KPR pada tahun 2012 sebesar 50,72 persen diikuti cara cicilan bertahap sebanyak 31 persen, dan sisanya cash. Pada tahun 2013 komposisinya berubah. Cara bayar KPR turun menjadi 46,8 persen sebaliknya cicilan bertahap naik menjadi 42,7 persen, dan sisanya cash.
PT Ciputra Development Tbk (CTRA) merasakan hal yang sama. Pada 2013 pembelian dengan cara bayar KPR sudah mulai berkurang ke level 44 persen dan sampai dengan April 2014 berkurang lagi menjadi 36 persen. Berkurangnya demand pembelian melalui KPR terutama disebabkan berbagai kebijakan Bank Indonesia (BI) terkait pembatasan Loan to Value (LTV) yaitu batasan rasio pinjaman bank terhadap agunan yang dibatasi maksimal 70 persen.
Artinya, bank hanya diperbolehkan maksimal memberikan pinjaman sebesar 70 persen dari nilai kredit yang diajukan sehingga konsumen harus merogoh kocek sebesar 30 persen untuk Uang Muka (UM). Sejak pertengahan tahun lalu, BI juga meningkatkan suku bunga acuan (BI rate) yang juga berdampak pada tingginya bunga pinjaman perbankan.
Direktur CTRA, Tulus Santoso, mengatakan cara pembayaran melalui KPR memang turun selain karena kebijakan LTV juga meningkatnya suku bunga disebabkan melonjaknya nilai tukar mata uang (kurs). \"Memang ini bukan hanya dirasakan dampaknya oleh industry properti, industry lain juga merasakan. Selain itu kondisi likuiditas perbankan saat ini terlihat Loan to Deposit Ratio (LDR)nya sudah tinggi. Nah ini membatasi pembiayaan untuk properti,\" ungkapnya saat public expose Ciputra Grup di Jakarta, kemarin.
Pihaknya memahami maksud BI memberlakukan kebijakan itu untuk menahan gejolak moneter. Maka Tulus menilai bahwa kondisi ini hanya sesaat dan bukan merupakan faktor fundamental baik dari industry properti maupun perusahaan propertinya. \"Kita tunggu semua normal kembali. Ini tidak terkait fundamental tapi lebih ke kondisi eksternal yang ada dampaknya ke properti. Jadi kita masih percaya diri pertumbuhan perusahaan akan tetap sesuai target dan harapan,\" yakinnya.
Direktur CTRS, Nanik J Santoso, mengatakan tiga bulan terakhir di tahun 2013 tidak ada KPR sama sekali ke penjualan perseroan. \"Tapi kami tidak boleh berhenti menjual. Akhirnya kita pakai cara bahwa Uang Muka bisa dicicil. Untuk rumah di atas 70 meter persegi kan Uang Mukanya harus di atas 30 persen. Akhirnya uang muka itu kita perbolehkan cicil apakah itu tiga bulan, enam bulan, bahkan bisa lebih tergantung kondisinya,\" paparnya.
Terlebih, kata Nanik, mayoritas pembeli rumah di kelas itu adalah first home buyer alias pembeli rumah pertama. Tanpa difasilitasi seperti itu maka daya belinya semakin berkurang sebab pada saat yang sama terjadi kenaikan harga tanah secara signifikan. \"Tahun 2013 kenaikan harga tanah di Surabaya mencapai 100 persen,\" ucapnya.
Kenaikan harga tanah itu juga memicu kenaikan pembelian rumah segmen harga mulai Rp 1 miliar dan lebih pada beberapa produk milik perseroan terutama di kawasan Surabaya dan sekitarnya. Pada 2012 kontribusi penjualan rumah di segmen ini sebanyak 47,8 persen lalu meningkat menjadi 65,6 persen pada 2013. Sebaliknya, harga rumah segmen Rp 500 juta sampai Rp 1 miliar berkurang menjadi 27,3 persen pada 2013 dibandingkan 31,1 persen pada 2012.
Selain memberatkan bagi pembeli rumah pertama, paket kebijakan dari otoritas itu juga menghilangkan potensi pendapatan sekitar 10 persen sampai 15 persen bagi perusahaan properti. Berasal dari pembeli potensial untuk rumah ke dua dan ke tiga. \"Perkiraan kami pembeli KPR untuk rumah ke dua dan ke tiga yang biasanya untuk investasi itu sekitar 10 persen sampai 15 persen. Nah ini potential lost. Mereka tidak bisa beli produk kami karena pembelian di kelas ini tidak boleh inden, rumahnya harus sudah jadi. Padahal cara penjualan kita adalah inden,\" tuturnya.
Direktur Utama CTRS, Harun Hajadi, mengakui bahwa dampak dari kebijakan itu sangat terasa selain bagi industry properti juga masyarakat yang butuh rumah terutama rumah pertama. \"LTV 70 persen itu banyak membuat orang pembeli pertama sulit beli. Di Jakarta, misalnya, sekarang sudah umum harga rumah standar harganya sekitar Rp 1 miliar. Apa mampu untuk uang mukanya? Kalau untuk kepemilikan rumah ke dua atau ke tiga oke lah, bisa dipahami,\" sesalnya.
(gen)