Soal Penerapan Perda Prostitusi
JAMBI - Pemerintah Kota (Pemkot) Jambi yang ingin mengaplikasikan Perda nomor 2 tahun 2014 soal prostitusi dengan menutup lokalisasi dianggap salah. Pasalnya, Perda yang dibuat itu bukan perda soal tempat, namun Perda soal aktifitas.
‘‘Ini tak sama dengan perda di Surabaya dan Tangerang. Kalau mereka itu memang perda penutupan tempat, kalau kita ini Perda aktifitas,’‘ ujar anggota DPRD Kota Jambi Paul Andre Marisi yang sebelumnya ketua pansus Ranperda prostitusi.
Dia menerangkan, untuk menerapkan Perda ini, harus ada temuan terlebih dulu. ‘‘Harus tertangkap tangan kalau ada transaksi dan dibuktikan baru bisa dilakukan tindakan yaitu ditutup. Disana ada sekitar 436 PSK. Kemudian juga penerapannya, kalau ditangkap tangan satu tempat itu, hanya tempat itu yang harusnya ditutup bukan seluruhnya. Masak satu tempat yang ditangkap malah semuanya yang kena. Perda itu kan tak mengatur begitu,’‘ jelasnya.
‘‘Di dalam perda itu kan bunyinya bukan tempat, namun ini Perda soal aktifitas. Selama tak ada yang jual dan beli dan tak ada transaksi tak bisa ditutup. Ini perda aktifitas bukan perda lokasi. Harus dibuktikan dulu, jangan asal tutup. Perda kita ini beda dengan perda di surabaya. Kalau disana itu perda soal penutupan tempat,’‘ ungkapnya.
Menurutnya, Perda ini bersifat universal, bukan hanya lokalisasi saja. ‘‘Kalau kita hanya soal aktifitas prostitusi dan asusila. Jadi kalau ada yang ketangkap di kos-kosan atau hotel tertangkap ya itu harus ditindak. Bisa cabut IMB hotel itu atau sebagainya,’‘ tambahnya.
Disampaikannya, saat pihaknya mensosialisasijab perda ini di pucuk, tak ada warga pucuk yang ribut ‘‘Kami sosialisasi disana malah tak ada riyak ribut. Karena perda ini jelas sekali bukan soal penutupan tempat. Ini penafsiran yang salah terhadap perda yang ada. Kan tidak mungkin SKPD tak tahu soal maksud dari perda ini, dia kan ikut juga bahas perda ini dulunya,’‘ ujarnya.
Dia menegaskan, Pemkot tak teliti untuk melakukan pengaplikasian perda. ‘‘Kalau aplikasinyabini tak sesuai isi Perda dan muatannya, ya saya anggap ini hanya pencitraan dari walikota. Aplikasi perda itu salah, pasal yang mana dan ayat yang mana yang menyebut perda ini soal tempat. Bicara hukum dan aturan ya harus sesuai,’‘ ujarnya.
Ditanya, apakah ia menolak penutupan lokalisasi, dengan tegas dia membantah. Menurutnya, Bukan pihakbya tak setuju ditutup. Semua tempat yang melakukan aktifitas prostitusi harus ditutup. ‘‘Perda nomor 2 tahun 2014 inibsoal pemberantasan pelacuran dan perbuatan asusila. Ini perda aktifitas bukan seperti penutupan tempat seperti tangerang dan surabaya,’‘ katanya.
‘‘Pernah dak sekarang pemkot tangkap tangan aktifitas disana. Jangan salah penafsiran terhadap perda ini. Kami setuju penutupan cuma penerapan perda ini harus sesuai. Ini kan perda membahas soal aktifitasnya yang dilarang bukan kita menutup tempat. Upaya ini tak sesuai dengan muatan perda jadi kami anggap ini hanya pencitraan,’‘ tandasnya.
Sementara Walikota Jambi, Sy Fasha belum bisa dimintai komentarnya terkait hal ini. Coba ditemui di ruangannya kemarin, sejumlah wartawan tak kunjung mendapatkan izin dan panggilan untuk bisa menemuinya.
Diberitakan sebelumnya, rencana penutupan lokalisasi Payo Sigadung atau yang dikenal dengan sebutan Pucuk terus saja menuai penolakan dari penghuni kawasan lokalisasi itu.
Buktinya, saat sosialisasi rencana penutupan lokalisasi dilakukan oleh Pemkot Jambi, kemarin, salah seorang warga sempat histeris menolak penutupan lokalisasi terbesar di Provinsi Jambi itu.
‘’Kalau Pucuk ditutup, anak Saya mau makan apa?,’’ ujarnya histeris. Kata-kata itu disebutkannya berulang-ulang dengan logat Bahasa Jambi.
Tidak hanya itu saja, salah satu warga bahkan secara terang-terangan menolak menghentikan aktifitas karena dia terlilit hutang hingga ratusan juta. Dia meminta Pemkot menunda penutupan lokalisasi pucuk hingga 2016. ‘‘Sampai hutang saya lunas,’‘ ucapnya.