Ahok yang Gagal Dimakzulkan

Kamis 11-09-2014,00:00 WIB
Oleh:

Oleh Dori Efendi

Pengunduran diri Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dari partai Gerindra menjadi trending topik bagi rakyat Indonesia.  Sikap Ahok tersebut tentu dinilai berani karena melawan arus politik para penguasa. Ahok juga tentu dinilai sebagai pemimpin yang merepresentasikan suara rakyat atau “abdi masyarakat” yang layak membawa mandat rakyat.  Pertanyaannya kenapa Ahok bereaksi keras terhadap wacana pemilihan kepala daerah tersebut? Ahok adalah hasil daripada pemilihan kepala daerah secara langsung.  Dalam undang-undang pemilihan kepala daerah nomor 32 tahun 2004, peserta pilkada adalah pasangan calon yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik.  Namun, ketentuan ini direfisi semula dalam undang-undang Pilkada nomor 12 tahun 2008 yang menyatakan bahwa peserta pilkada juga dapat berasal dari pasangan calon perseorangan yang didukung oleh sejumlah orang atau 6.5 persen dari jumlah penduduk dari provinsi, atau kabupaten/kota tersebut.  Dari undang-undang ini dapat kita nilai keputusan Ahok mengundurkan diri adalah cerdas dan tepat.  Terlebih lagi sebahagian elit politik gerah dengan sikap Ahok yang blak-blakan. Kenapa? 

 

Dalam undang-undang nomor 32 tahun 2004,secara tidak tertulis partai memiliki kekuasaan terhadap calon yang berhasil menduduki kerusi kepala daerah. Ini karena sang-calon terikat kontrak politik dengan partai yang mencalonkannya.  Hanya saja ini tidak bisa digunakan oleh elit politik dalam sistem yang demokrasi. Bila sistem Pilkada ini dirubah dan kepala daerah dipilih langsung oleh Dewan Perwakilan Rakyat sudah barang tentu partai politik memiliki kekuasaan mutlak terhadap kepala daerah. Artinya setiap kepala daerah dapat diberhentikan kapan saja sesuai kepentingan elit politik. Melihat konstelasi politik yang sedemikian keputusan Ahok adalah cerdas dengan mengundurkan diri dari partai Gerindra karena tidak ada tekanan politik atau manuver politik yang bisa menyerangnya dan memakzulkannya.

 

Jika pun, DPR berhasil melaksanakan pemilihan kepala daerah melalui pengangkatan langsung oleh DPR, ketentuan ini tidak berlaku lagi bagi Ahok karena Ahok saat ini adalah pemimpin indivenden yang secara konstitusi tidak terikat dengan partai politik yang mengusungnnya. Artinya tidak ada kekuatan politik yang bisa melengserkan Ahok ketika dilantik menduduki kerusi DKI-1 nanti.

Gerindra Korban Koalisi

Surat pengunduran diri yang dikirimkan oleh Ahok ditanggapi emosional oleh Ketua DPD Partai Gerindra DKI Jakarta Muhamad Taufik yang menantang Ahok membuktikan ucapanya keluar dari Gerindra. Sikap Ketua DPD Gerindra tersebut malah menjadi momok bagi Gerindra sendiri karena para pemimpin Gerindar dinilai arogan terhadap kadernya yang bersih. Sedangkan Ahok saat ini adalah pemimpin yang berhasil membenahi Ibu Kota. Oleh itu, sikap ketua DPD Gerindra tidak sesuai dalam kontelasi politik saat ini. Terlebih lagi, kualisi merah putih sempat mempersoalakan hasil Pilpres di Mahkamah Konstitusi yang tidak disadari telah membangun opini politik yang negatif terhadap Pendiri Partai Gerindra.

 

Di sini dapat kita lihat partai Gerindra terjerat oleh petelagahan kadernya sendiri yang menghilangkan simpati rakyat terhadap partai Gerindra. Tidak itu saja partai Gerindra juga menjadi korban utama dari kualisi merah putih yang sebahagian elit politik dari luar partai Gerindra juga melakukan manuver politik. Misalnya kenyataan elit politik yang menyatakan pemilihan kepala daerah harus dipilih langsung oleh Dewan Perwailan Rakyat, atas alasan efektifitas anggaran negara, tidak diucapkan oleh elit politik Gerindra saja. Namun, Gerindra sebagai gerbong utama kualisi menjadi korban utama yang disalahkan oleh rakyat yang dinilai mahu mengerogoti kemenangan Jokowi. Artinya kejahatan politik yang dilakukan oleh kualisi merah putih yang mendominasi parlemen adalah keingginan daripada elit partai Gerindra.

 

Jika benar ini yang berlaku, perjuangan partai Gerindra selama sepuluh tahun menjadi partai oposisi yang memperjuangkan hak rakyat dan partai yang bersih akan mengalami kehancurannya.  Ini karena partai Gerindra dinilai mencetuskan politik perhambaan iaitu kolusi, korupsi dan nepotisme yang rentan berlaku apabila kepala daerah dipilih langsung oleh DPR.  Sedangkan republik ini bergerak maju dengan sistem demokrasinya, apa lagi Pilkada secara langsung di daerah dianggap sebagai mukjizat demokrasi karena ianya menjadi instrumen transformasi politik yang melahirkan hak politik dan hak sivil yang nyata bagi rakyat Indonesia.

(Mahasiswa S3 Ilmu Politik Dan Pemerintahan pada Universiti Putra Malaysia)

Tags :
Kategori :

Terkait