Temukan Virus HIV Baru hingga Monyet Hybrid Sulawesi

Jumat 12-09-2014,00:00 WIB

Dr Jatna Supriatna, 28 Tahun Tekuni Wildlife Biologist

 Tidak banyak ilmuwan Indonesia yang memilih bercapek-capek melakukan penelitian di tengah hutan. Salah satu yang langka itu adalah Dr Jatna Supriatna. Bertahun-tahun dia mendedikasikan hidupnya untuk menekuni ilmu biologi kehidupan liar (wildlife biologist) di hutan belantara.

 

 M. HILMI SETIAWAN, Jakarta

 

 Pada suatu malam medio 1986, hujan turun sangat lebat. Mobil Jeep 4WD yang dikendarai Dr Jatna Supriatna dan kawan-kawan penelitinya di dalam hutan Sulawesi Selatan tidak bisa melanjutkan perjalanan. Sungai yang hendak dilewati meluap karena air bah.

 Mereka terjebak di dalam hutan itu sambil menunggu hujan reda dan banjir surut. Untungnya, Jatna dan tim sudah menyiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan untuk tinggal berminggu-minggu di dalam hutan. Termasuk, bagaimana mereka harus menjaga sebaik-baiknya sampel darah kera yang dibawa untuk bahan penelitian genetika kera-kera di Sulawesi. Sebab, jika sampel itu rusak, mereka harus mengulang prosesnya mulai awal. Kalaupun itu terjadi, mereka harus berminggu-minggu lagi di dalam hutan.

 Begitulah secuil kisah penelitian kehidupan liar yang dilakukan Jatna cs. Jatna mulai menjadi wildlife biologist pada 1986. Pada awal proyek penelitiannya, dia harus tinggal di hutan pedalaman Sulawesi selama tiga tahun. Dosen MIPA Universitas Indonesia (UI) itu akhirnya meneguhkan hati menjadi ahli biologi lapangan.

 \"Sebab, di lapangan itu lebih banyak masalah yang dihadapi,\" kata pengajar yang menuntaskan jenjang S-2 dan S-3 di The University of New Mexico, AS, itu.

 Ditemui di kompleks gedung rektorat UI Senin (8/9), Jatna bercerita tentang kiprahnya di dunia penelitian alam liar Indonesia. Pria kelahiran Bali, 7 September 1951, itu menyatakan, penelitian di Sulawesi tersebut awalnya bekerja sama dengan sejumlah perguruan tinggi di dalam dan luar negeri. \"Kami bekerja dalam satu tim. Saya menjadi ketua timnya,\" tutur Jatna.

 Selain UI, kampus lokal yang terlibat dalam proyek besar tersebut adalah Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar dan Universitas Tadulako Palu. Kampus asing yang bergabung adalah The University of New Mexico, Yale University, Colombia University, University of Georgia, University of Colorado, University of California, serta University of Oregon. Banyaknya kampus asing yang terlibat menunjukkan ketertarikan mereka terhadap habitat liar di Indonesia.

Jatna menjelaskan, fokus penelitian mereka saat itu adalah kehidupan primata di Sulawesi. Ada tujuh spesies kera (makaka/macaca/macaque) di seluruh wilayah Sulawesi yang mereka teliti. Tujuh spesies kera tersebut adalah Macaque maura, Macaque tonkeana, Macaque hecki, Macaque nigrescens, Macaque nigra, Macaque ochreata, dan Macaque brunnescens. Perbedaan mencolok dengan kera atau monyet pada umumnya, kera di Sulawesi tidak memiliki ekor. Beberapa spesies memiliki sedikit jambul di kepalanya.

 Menurut suami Nana Ratnawati itu, jenis primata di Sulawesi cukup menarik untuk diteliti. Secara geografis, Pulau Sulawesi terpisah dari Pulau Kalimantan dan Jawa. Kondisi tersebut dikenal dengan teori garis Wallace sehingga keragaman hayati, termasuk jenis kera di Sulawesi, cukup unik.

 Selama tiga tahun berada di hutan, Jatna menemukan fakta menarik. Salah satunya, telah terjadi perkawinan campuran (hybrid/hibrida) di antara tujuh spesies kera di Sulawesi itu. Menurut Jatna, perkawinan hybrid tujuh spesies kera di Sulawesi tersebut menunjukkan terjadinya gejala alam tertentu.

 \"Salah satu penyebab kenapa terjadi perkawinan hybrid di antara kera-kera itu adalah telah terjadi kerusakan alam di hutan tersebut,\" kata penulis buku Panduan Lapangan Primata Indonesia (2000), Melestarikan Alam Indonesia (2008), Indonesian Primates (2010), dan Berwisata Alam di Taman Nasional (2014) tersebut.

Tags :
Kategori :

Terkait