Perdebatan Hangat Malah saat Menyensor Film Religi

Senin 22-09-2014,00:00 WIB

  Di sebelah lima kursi tersebut juga ada sebuah kursi dan sebuah meja untuk operator seperti Sudiono. Sebenarnya di dalam ruang studio itu ada sebuah ruangan sempit yang letaknya persis di belakang lima meja tadi.

  Ruangan tersebut merupakan tempat kerja operator saat memutar film ke layar untuk ditonton tim penyensor. Lima kursi dan ruangan itu dibatasi sebuah tembok yang terpasang tiga kaca ukuran besar semacam jendela untuk tempat lewatnya sinar proyektor film ke layar. Selain itu, operator bisa mengintip keadaan di ruang studio utama melalui jendela.

  Di balik jendela yang ada ruang sempit tersebut terdapat dua mesin pemutar pita film (seluloid) yang sudah jarang dipakai, namun masih berfungsi dengan baik. Juga, sebuah mesin pemutar film teranyar, DCP (digital cinema package) merek Kinoton. \"Mesin buatan Jerman itu berfungsi menyimpan film-film yang belum disensor untuk ditampilkan ke layar,\" terang Sudiono yang saat itu tengah sibuk meng-upload sejumlah film ke dalam DCP, antara lain, Yang Ketu7uh dan dua film Bollywood berjudul Dewaat dan Khoobsurat.

  Di lantai yang sama, LSF punya ruang bioskop sendiri yang luas. Ruang bioskop yang diisi sekitar 80 kursi penonton tersebut sangat nyaman. Kursinya pun bisa disejajarkan dengan kursi bioskop di XXI atau Blitz. Empuk. Namun, ukuran layarnya hampir separo lebih kecil daripada layar yang dimiliki XXI atau Blitz. Bioskop milik LSF tersebut difungsikan untuk nonton bareng para pejabat negara atau para mahasiswa yang melakukan study tour ke sana. \"Bisa juga dipakai untuk rapat-rapat besar,\" tutur Sudiono.

  Sudiono yang bertahun-tahun terlibat dalam penyensoran film menceritakan bahwa selama penyensoran, studio tersebut harus steril dari orang-orang yang tidak berkepentingan. Juga, tidak boleh ada suara gaduh yang terdengar hingga ke luar studio.

  Sebab, pihak-pihak yang terlibat dalam penyensoran dituntut harus betul-betul teliti memperhatikan scene demi scene dalam film yang diputar. Durasi film yang ditonton untuk sebuah film yang tayang di bioskop beragam, bisa dua hingga tiga jam. \"Makanya, harus konsentrasi biar nggak ada yang terlewat. Kalau perlu, pintu studio saya kunci,\" ujar bapak satu anak tersebut.

  Tidak jarang anggota tim penyensor sampai terkantuk-kantuk saat menonton film, apalagi jika film yang ditonton punya jalan cerita yang membosankan. \"Juga disediakan kopi sama kue-kue biar bisa tetap melek,\" ucap pria asli Malang, Jawa Timur, tersebut.

  Selain harus memperhatikan jalan cerita dalam film, Sudiono menjelaskan bahwa tim penyensor harus memperhatikan durasi waktu untuk menentukan scene mana yang harus disensor. \"Menit sekian atau detik sekian yang harus dihilangkan. Harus teliti,\" terangnya.

  Soal adegan apa yang harus disensor, itu juga bukan  perkara mudah. Meski menurut peraturan adegan yang perlu disensor adalah adegan pornografi, adegan ranjang, kekerasan, perjudian, dan sebagainya, bagi Sudiono yang sudah berpengalaman dalam menyensor film, apa yang harus disensor juga ditentukan oleh rasa. Dia mencontohkan, tidak semua adegan berciuman dihapus dari sebuah film.

  \"Kalau untuk bioskop, adegan berciuman bisa tetap ada, tapi dipotong berapa detik. Tapi, jika untuk layar tancap, bagian pas mau nyosor kami cut. Beda lagi untuk tayang di TV, saat pemeran beradegan mau mencium, sudah kami hapus. Soalnya, kalau TV banyak ditonton anak kecil. Pokoknya dirasa-rasain sendiri lah,\" terangnya.

  Selain itu, penyensoran harus rapi dan bersih. Dia menerangkan bahwa film yang terpotong setelah disensor sering punya alur cerita yang tidak jelas. Bukan itu saja. Musik latar pada film yang disensor kadang terdengar aneh karena ada adegan yang terpenggal. \"Jangan sampai sensor ini membuat film yang seharusnya bagus jadi jelek,\" ucapnya.

  Namun, menurut dia, tugas tim penyensor dan operator saat ini sudah jauh lebih mudah berkat berbagai peralatan modern yang serbaotomatis. Sebut saja CD/DVD sebagai pengganti pita seluloid, Betamax, dan video home system (VHS). Dengan menggunakan kepingan CD/DVD lengkap dengan mesin pemutarnya, sebuah film dapat dipercepat atau diperlambat dengan mudah untuk mencari bagian yang hendak disensor.

  Kalau dulu, sekitar 1980, lanjut Sudiono, semua penyensoran film harus dilakukan secara manual. Petugas pemotong film harus mencatat dengan teliti bagian mana dalam film yang harus dipotong. Saat itu film masih disimpan dalam pita seluloid.

  Sudiono menceritakan, saat itu ada seorang rekannya yang dihukum wajib ikut apel pagi di polda selama dua bulan penuh lantaran lalai dalam menyensor. BNagian film yang seharusnya disensor lolos tayang. \"Waktu itu pas adegan ranjang,\" kenangnya.

  Selain itu, dia menceritakan, tidak jarang pihaknya mengundang personel TNI-Polri dan BIN untuk ikut menyensor film. \"Ya, mereka harus nonton,\" ucapnya santai.

  Biasanya anggota TNI-Polri diundang untuk menyensor film-film yang berbau perang dan politik. Maksudnya, menangkal potensi ancaman keamanan nasional yang dibawa pihak tak bertanggung jawab lewat film.

Tags :
Kategori :

Terkait