Dampak Pemberlakuan Standar Residu Pestisida
JAKARTA - Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) mengkhawatirkan adanya penurunan ekspor minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO) hingga akhir tahun. Sebab, Tiongkok sebagai importir ketiga terbesar baru saja memberlakukan aturan tentang standar residu pestisida.
Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Fadhil Hasan mengatakan, ekspor CPO ke Tiongkok anjlok drastis sepanjang Agustus 2014. Dari data Gapki, volume ekspor CPO selama Agustus hanya 81.000 ton atau turun 70 persen dibandingkan capaian bulan sebelumnya yang 138.000 ton. \"Penyebabnya disinyalir karena Tiongkok sudah memberlakukan standar residu pestisida,\" kata Fadhil, kemarin (22/9).
Dengan adanya aturan baru tersebut setiap komoditi dan bahan makanan harus sudah mengantongi sertifikat lolos dari residu pestisida yang jenis-jenisnya sudah ditetapkan pemerintah Tiongkok. \"Regulasi baru ini mencakup 387 pestisida, termasuk untuk produk minyak makan. Dengan adanya regulasi baru ini, secara otomatis para eksportir CPO dari Indonesia harus melengkapi persyaratan ini sebelum memasok ke Tiongkok,\" tuturnya.
Gapki mencatat, ekspor CPO ke negara-negara Afrika juga terperosok hingga 89 persen pada Agustus. Sedangkan ekspor ke Bangladesh dan Uni Eropa masing-masing anjlok hingga 51 persen dan 24 persen pada bulan yang sama. Pada saat bersamaan, ekspor ke India dan Pakistan tercatat masing-masing naik 17 persen dan 29 persen pada Agustus.\"Peningkatan permintaan dari dua negara Asia Selatan itu ditujukan untuk menambah stok setelah pasokan sebelumnya habis terpakai saat hari raya,\" sebutnya.
Penurunan ekspor ditengarai juga akibat rendahnya harga CPO dunia, yang diklaim terburuk dalam lima tahun terakhir. Sementara itu di dalam negeri permintaan CPO meningkat seiring bertambahnya pabrik-pabrik pengolahan baru.\"Melemahnya kinerja ekspor CPO Indonesia turut dipengaruhi faktor internal seperti peningkatan daya serap oleh pengguna dalam negeri seiring dengan berkembangnya industri hilir di sektor kelapa sawit,\" ungkapnya.
Sementara itu, Wakil Menteri Perdagangan Bayu Krisnamurthi mengatakan, Indonesia ingin memperbesar ekspor CPO ke Tiongkok. Pada tahun lalu ekspor CPO Indonesia ke Tiongkok senilai USD 2,4 miliar. Angka tersebut masih kalah dibanding Malaysia yang pada 2013 lalu ekspornya mencapai USD 3,1 miliar. \"Tapi kita optimistis dapat menyalip Malaysia karena perkembangan produksi CPO di Malaysia sudah melambat, sementara Indonesia masih tumbuh tinggi,\" tandasnya.
Bayu menambahkan, Indonesia bisa menjual ke Tiongkok mulai dari sawit mentah, olahan, hingga produk jadi seperti minyak goreng, sabun, dan sebagainya karena industri CPO di Indonesia sudah cukup lengkap dari hulu sampai hilir. \"Indonesia bagi Tiongkok menyenangkan karena seperti supermarket CPO, semuanya ada. Ini potensi besar untuk terus didorong, kuncinya adalah mengintensifkan komunikasi,\" jelasnya.
(wir/agm)