Filosofi Positif X Negatif

Rabu 24-09-2014,00:00 WIB
Oleh:

Oleh : Navarin Karim 

Ketika masih sekolah di SMA Negeri 1 Jambi jurusan IPA tahun 1976, guru aljabar penulis (almarhum Simalango) pernah mengemukakan kepada siswanya supaya hati-hati dengan tanda negative,  karena tanda  negative dikali positif bisa negative dan negative kali negative bisa menghasilkan positif. Begitulah pengaruh besar tanda negative yang tidak boleh dipandang remeh.  Bahkan beliau mengatakan  “hormati tanda negative”.  Ternyata ungkapan tersebut  mengandung makna filosifis yang mendalam dalam kehidupan. Jika anda orang yang positif  (berkarakter baik) masuk dalam lingkungan negative, maka jika benteng kepribadian anda tidak kuat anda akan terperangkap jadi negative. Lingkungan kehidupan  kita sekarang sudah sangat parah. Korupsi, narkoba dan pornografi serta pelacuran semakin marak. Disiplin waktu  dengan kesadaran seolah menjadi langka, kecuali dengan punishment. Namun tindakan ini tidak efektif, karena tidak mendarah daging (internalized) seperti yang diterapkan dalam organisiasi militer. Di dalam korp nya begitu disiplin dan patuh, bahkan oknum aparat ditampar komandanpun  mereka masih mengatakan siap. Namun di luar jam tugas anda bisa menyaksikan banyak oknum TNI dan Polri yang kurang disiplin, bahkan menampilkan arogansi dalam masyarakat.  Hal ini penulis ungkapkan karena disiplin dengan menanamkan kesadaran itulah yang lebih baik. Pendidikan dengan cara kekerasan, akan menciptakan generasi yang keras dan pendendam. Pelonco, OSPEK (Orientasi Pengenalan Kampus) dengan memperkenalkan cara kekerasan terhadap siswa dan mahasiswa, akan menciptakan generasi keras dan pendendam pula.  Kenapa sekarang banyak orang korupsi? Bahkan sampai di analogikan kalau menangkap ikan di sungai dengan menggunakan tangguk, maka sebagian besar ikan akan masuk ke dalam tangguk tersebut. Begitu parahnya keadaan ini. Korupsi sudah terjadi secara terstruktur, sistematis dan masif. Orang tidak berani mengatakan tidak kepada atasan yang mengajak cooperative terhadap cara-cara korupsi. Ini tindakan yang dianggap beresiko. Sehingga muncul ungkapan  baru “Susu setitik, nila sebelanga” (bukan lagi gara- nila setitik, rusak susu sebelanga). Artinya jika anda melawan arus, anda akan menghadapi resiko besar. Frank B Gilbreth (1868-1924) dapat dianggap sebagai pencetus System Management. Dia memandang semua gerakan operasional satu dengan lainnya berkaitan dan harus dilakukan dengan cara yang paling sistimatis. Gilbreth menanggapi kenyataan bahwa tingkat produktivitas seseorang tergantung dari kepribadian dan lingkungan kerjanya. Artinya jika lingkungan kerja negative, maka ia juga akan terpengaruh jadi negative. Konsep ini mengingatkan penulis terhadap lingkungan negative yang pernah terjadi ketika awal-awal menjadi dosen (lecture). Menjelang akan menguji skiripsi, penulis baca-baca skripsi. Lantas ada dosen senior waktu itu mengatakan tidak usah dibaca pak, mahasiswa saja belum tentu baca skripsi yang dibuatnya. Ah kalau begitu lingkungan ini negative adanya. Oleh sebab itu penulis sangat-sangat hati-hati dengan lingkungan negative ini, sehingga penulis praktekkan  ketika anak penulis meminta advise dalam pemilihan jurusan disekolah SMA favorite di Jambi. Anak penulis memenuhi criteria masuk jurusan IPA (Ilmu Pengetahuan Alam), tetapi dia lebih senang dengan jurusan IPS. Penulis katakan kamu ambil saja jurusan IPA, karena lingkungan anak jurusan IPA akan lebih serius dan ketimbang anak jurusan IPS.  Hal ini dengan alasan mereka yang masuk jurusan IPA adalah siswa pilihan (selected people).  Lebih lanjut saya kemukakan, Nanti ketika kamu kuliah akan ambil jurusan IPS silakan saja, karena dasar-dasar keseriusan, disiplin sudah mendarah daging ketika dia ditempa di jurusan IPA. Alhamdulillah anak-anak penulis bisa mandiri dalam menjalani kehidupan ini.

Mengalahkan Lingkungan Negative.

Pertama. Pilihlah pemimpin yang berintegritas dalam suatu organisasi. Dia penentu kearah moral mana organisasi akan dibawa. Penyebab korupsi di Indonesia bersifat sistimatis, terstruktur dan masif tidak bisa terlepas dari tanggung jawab pimpinan yang dipilih. Bukankan korupsi (busuk) itu berasal dari kepala? Pembusukan ikan berawal dari kepala terus ke badan dan ekor. Makanya jika pembeli akan membeli ikan dia liat insangnya. Jika insangnya sudah tidak berwarna merah berarti ikan itu busuk, maka tidak perlu lagi dia periksa bagian perut dan ekor.

Kedua. Jika di dalam organisasi yang menerapkan disiplin secara konsisiten dan pegawai dengan kinerja yang baik, maka tidak ada salahnya member sanksi kepada pegawai yang kurang disiplin dan berkinerja renda. Penulis analogikan jika pedati ditarik oleh dua atau tiga kuda terdapat kuda yang lambat, maka kuda lambat ini segera di buang, karena akan mempengaruhi kuda lainnya dalam yang menarik beban. Analogi lain, jika dalam lima jari terdapat satu jari yang sakit atau kurang berfungsi, maka segera amputasi satu jari tersebut sehingga tidak menjalar ke jemari lainnya.

Ketiga. Dilingkungan sekolah dan Perguruan Tinggi biasakan agar perbuatan nyontek (cheating) dan plagiat sebagai perbuatan  yang sangat memalukan. Bahkan kalau perlu dibuat spanduk besar jelang ujian kalimat yang berbunyi “menyontek berarti anda punya potensi menjadi koruptor”.

Keempat. Ketika siswa ketahuan menyontek dan plagiat, berikan hukuman dengan pemberian nilai terendah (E).

Kelima : Pendidikan karakter harus diperkuat di sekolah dan Perguruan Tinggi, karena sudah sangat langka sekarang menemukan pemimpin yang punya karakter kuat. Pak SBY saja semula sebelum mendukung keputusan pemilukada langsung, beliau lebih mendukung pemilukada tidak langsung. Semula mengatakan netral, malah koalisi dengan Pemerintahan Jokowi – JK.

-------------------------

Penulis adalah Ketua Pelanta (NIA 201307002) dan Dosen PNSD Kopertis Wilayah X dpk STISIP NH Jambi.

Tags :
Kategori :

Terkait