Faisal Basri Periksa Petral

Selasa 25-11-2014,00:00 WIB

 Meski begitu, kata dia, Shell tetap memperhitungkan faktor persaingan tersebut agar tetap bisa kompetitif. Terlebih, perusahaan migas asal Belanda itu hanya berfokus di pasar BBM nonsubsidi. \"Saya tidak bisa komentar terlalu jauh terkait itu karena masing-masing perusahaan tentu punya pricing strategy. Ini sekarang rupiah mulai menguat lagi. Ya kami harapkan terus menguat supaya kami juga belinya lebih murah dan efeknya ke harga jual lebih murah,\" ungkapnya.

 Sementara itu, berubahnya harga BBM bersubsidi maupun nonsubsidi tidak ditanggapi antusias oleh pengusaha SPBU yang tergabung dalam Himpunan Wiraswata Nasional Minyak dan Gas (Hiswana Migas). Pengusaha saat ini lesu dalam menjalankan bisnis karena mengaku kurang diperhatikan pemerintah.

 \"Saat BBM naik dari Rp 4.500 ke Rp 6.500, pemerintah memberi insentif Rp 30 per liter. Saat ini tidak ada sama sekali,\" ujar Ketua Hiswana Migas Eri Purnomohadi mengeluhkan. Padahal, pengusaha diterpa meningkatnya biaya operasi dari berbagai aspek. Misalnya, upah, tarif dasar listrik, hingga inflasi.

 Dia menegaskan, pengusaha bukannya tidak sepakat dengan berbagai perubahan harga BBM. Untuk harga terbaru, misalnya, Hiswana Migas menyebutkan, tipisnya selisih harga BBM subsidi dan nonsubidi membuat pengoplosan atau penyelundupan berkurang banyak. Namun, naiknya harga BBM bersubsidi Rp 2 ribu membuat margin tetap.

 Eri menyebutkan, pengusaha kehilangan Rp 20 per liter. Menurut perhitungan dia, pemerintah perlu memberikan insentif ke SPBU non-Pertamina setidaknya Rp 75 per liter.

 \"Secara keseluruhan, pengusaha menderita bukan karena kenaikannya (harga BBM). Untuk kenaikan, bisa dipahami,\" tegasnya. Hiswana Migas bukannya tinggal diam. Mereka sudah mengirim surat kepada pemerintah mengenai keluhan itu. Namun, hingga kini belum ada respons.

(gen/dim/c5/sof)

Tags :
Kategori :

Terkait