JAKARTA -Cuaca buruk kembali melanda lokasi operasi pencarian korban longsor di Dusun Jemblung, Desa Sampang, Kecamatan Karangkobar, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah. Awan gelap dan hujan yang melanda wilayah tersebut, mengakibatkan evakuasi korban dihentikan, kemarin (15/12), tepat pukul 15.30. Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho menuturkan, cuaca buruk tersebut bisa memicu longsor susulan.
\"Beberapa kendala pencarian korban adalah hujan yang dapat memicu longsor susulan, lumpur tebal, wilayah tertimbun longsor cukup luas, kondisi tanah masih labil,\" jelas Sutopo, di Jakarta, kemarin.
Sutopo melanjutkan, posisi korban yang tersebar juga menyulitkan upaya evakuasi, saat hujan turun. Para korban tersebut sebagian korban terseret material longsoran. Karena itu, pencarian korban akan dilanjutkan lagi pagi ini. Fokus pencarian dilakukan di dua titik, yakni di bagian atas dimana terdapat delapan rumah yang tertimbun longsor hingga jalan raya dan bagian bawah, ada 35 rumah tertimbun longsor.
\"Lebih kurang 2.000 personel tim gabungan terus bekerja mencari korban. Sebanyak 12 alat berat dari Kementerian PU Pera dikerahkan untuk membersihkan longsoran jalan,\" lanjutnya.
Setelah kemarin proses evakuasi dihentikan, Sutopo mengungkapkan, Tim SAR berhasil menemukan 17 korban tewas, di mana empat korban tewas adalah anak-anak, 12 korban tewas orang dewasa, dan satu orang belum dapat diidentifikasi. Dari penemuan korban tadi malam, berdasar data Posko Tanggap Darurat Bencana Longsor di sana, tercatat total jumlah korban tewas mencapai 56 orang.
\"Dengan demikian 52 jiwa korban longsor belum ditemukan. Dari 56 korban tewas, enam orang belum dapat diidentifikasi dan 46 korban sudah diidentifikasi dan diserahkan ke pihak keluarga. Korban telah dimakamkan saat ini,\"papar Sutopo.
Sutopo menuturkan, pihaknya memperkirakan ada lebih dari 108 orang yang tertimbun longsor. Sebab, berdasar informasi yang diterima BNPB, terdapat sejumlah kendaraan roda empat dan roda dua saat kejadian, melintas di jalan raya yang menghubungkan antara Kabupetan Pekalongan dan Banjarnegara?. Apalagi, jarak luncuran longsor saat itu mencapai sekitar 1,2 kilometer ke bawah Bukit Telagalele berbelok ke sisi utara karena gravitasi bumi dan mengikuti kemiringan lereng. Di samping itu, jumlah penduduk Dusun Jemblung mencapai 308 jiwa, dimana 200 orang di antaranya berhasil menyelamatkan diri.
\"Material longsor meluncur melewati ruas jalan Banjarnegara-Pekalongan. Longsor berlangsung sekitar kurang dari lima menit. Dari informasi yang kami terima ada kendaraan yang lewat saat longsor terjadi,\" ucap Sutopo.
Menyoal penyebab terjadinya longsor, Sutopo memaparkan, pihaknya memetakan ada sejumlah faktor. Di antaranya, material penyusun Bukit Telagalele adalah endapan vulkanik tua, sehingga solum tanah tebal dan terjadi pelapukan. Kemiringan lereng lebih dari 60 persen. Sebagai informasi, mahkota longsor berada pada kemiringan lereng 60 hingga 80 persen.
\"Sebelumnya juga terjadi hujan deras pada 10-11 Desember 2014, sehingga tanah jenuh dengan air. Lalu, tanaman di atas bukit adalah tanaman semusim (palawija) dan tahunan yang tidak rapat. Budidaya pertanian juga tidak mengindahkan konservasi tanah dan air, di mana tidak ada terasering pada lereng tersebut,\" paparnya.
Menurut Sutopo, terjadinya bencana longsor di lokasi tersebut sebenarnya bukan kejadian baru. Sebab, Dusun Jemblung, termasuk daerah yang berpotensi sedang hingga tinggi longsor. Di Banjarnegara sendiri terdapat 20 kecamatan yang memiliki tingkat potensi longsor serupa dengan wilayah tersebut.
Dia pun menegaskan, selama ini pihaknya cukup getol mensosialisasikan peringatan dini terjadinya bencana di lokasi tersebut. Pemerintah juga membekali masyarakat di daerah rawan longsor dengan berbagai pelatihan dan pengetahuan terkait bencana longsor. Bahkan, pemerintah telah menempatkan Bahkan, pemerintah telah menempatkan sarana berupa alat Sistem Peringatan Dini Longsor atau yang disebut Landslide Early Warning System (LEWS) di lokas-lokasi rawan longsor tersebut.
Sayang, peralatan-peralatan canggih tersebut malah disalahgunakan warga sekitar. Berbagai alat sistem peringatan dini tersebut banyak yang beralih fungsi. Ada yang dijadikan sebagai tempat menjemur pakaian, ada pula yang memakainya sebagai kandang kambing.
\"Banyak saya temukan di beberapa daerah, alat LEWS ini malah dijadikan kandang kambing, jemuran, atau dibiarkan sehingga jadi sarang semut. Bahkan ada yang sengaja diputus kabelnya. Ketika saya tanya kenapa, mereka bilang alat itu bikin deg-degan, karena kan memang dini banget alarm alat itu bunyi, jika ada longsor kecil saja. Padahal (longsor) yang besar tidak terjadi, makanya digunting,\" ucap Sutopo.
Semua Warga Direlokasi Pemerintah