Investor Asing Makin Berburu Surat Utang
JAKARTA- Cadangan devisa (cadev) Indonesia diyakini cukup untuk men-cover capital outflow atau aliran modal asing. Meski demikian, kondisi cadev Indonesia saat ini sejatinya paling minim apabila dibandingkan dengan cadev negara-negara lain di Asia. Bahkan, posisinya paling rendah diantara negara berkembang lainnya.
Tercatat, saat ini rasio cadev Indonesia terhadap produk domestik bruto (PDB) hanya sebesar 13,5 persen. Jika dikomparasikan dengan Malaysia dan Thailand, masing-masing memiliki rasio cadev sebesar 38 persen dan 41,1 persen terhadap output ekonominya. Begitu pula dengan beberapa negara lain seperti Filipina sebesar 29,04 persen. sedangkan Brasil dan India masing-masing mencatat rasio cadev terhadap PDB mencapai 16,72 dan 16,77 persen.
Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) Mirza Adityaswara mengatakan, cadangan devisa tanah air sebetulnya cukup untuk membiayai 6,6 bulan impor, atau 6,4 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri (ULN) pemerintah. Serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor.
Namun, menurutnya, diperlukan cadangan devisa yang lebih besar lagi untuk men-cover terjadinya outflows modal asing. \"Semakin besar kepemilikan asing, biasanya lebih rentan pasar finansialnya. Karena itu cadangan devisa juga harus lebih besar. Caranya ya ekspornya harus besar,\" ungkapnya.
Saat ini, sebagian besar investor yang memburu surat berharga adalah pemodal asing. Misalnya, dia mencontohkan, kepemilikan investor asing pada outstanding obligasi pemerintah hingga kini mencapai 39,4 persen. Atau lebih tinggi ketimbang beberapa negara lainnya seperti Mexico (37,5 persen), Malaysia (28,6 persen), Brasil (20,4 persen), maupun Turki (29,3 persen). Bahkan asing yang memegang obligasi pemerintah Korea dan India hanya 16,1 persen dan 7 persen. Negara dengan kepemilikan asing lebih besar daripada Indonesia adalah Afrika Selatan sebesar 46,1 persen.
Sebagaimana diketahui, beberapa waktu lalu Indonesia sempat tertekan tren keluarnya modal asing. Hal itu memicu depresiasi rupiah yang cukup tajam mencapai 4,8 persen sepanjang tahun. Rupiah menyentuh angka terendahnya di level Rp 12.900 per USD. Dalam kondisi tersebut, maka diperlukan cadangan devisa berupa valuta asing (valas) untuk mengamankan posisi rupiah melalui upaya intervensi BI. Misalnya di pasar obligasi, BI telah membeli hingga Rp 1,7 triliun dalam dua hari perdagangan di pasar sekunder.
Namun demikian, kegiatan intervensi tersebut dinilai cukup proporsional sehingga tidak begitu membuat cadangan devisa melorot tajam. Per November 2014, cadangan devisa RI mencapai USD 111,1 miliar. Atau lebih rendah dibandingkan Oktober 2014 yang sebesar UD 112,0 miliar. \"Angkanya (devisa) sekarang tidak jauh-jauh dari angka terakhir meski ada intervensi,\" ujarnya.
Sementara itu, Deputi Gubernur BI Perry Warjiyo menerangkan, sejauh ini investor asing dengan portofolio jangka panjang cenderung terus berburu surat berharga negara (SB). Sebab, mayoritas dari mereka lebih percaya terhadap fundamental ekonomi Indonesia. Misalnya optimisme terhadap\"current account deficit\"(CAD) atau defisit transaksi berjalan yang diprediksi turun dari akhir 2013 USD 29 miliar menjadi USD 25 miliar.
Sebaliknya, investor jangka pendek lebih banyak menjalankan aksi jual karena mereposisi portofolionya pada akhir tahun. \"Biasanya awal tahun mereka mau balik lagi,\" tuturnya. Pada kuartal satu dan dua suplai SBN cenderung meningkat karena kementerian keuangan kembali menjual kembali SBN dalam rangka financing dari APBN tahun depan. \"Kalau tahun ini target\"financing\"sudah tercapai, sehingga suplai dari SBN di pasar tidak terlalu banyak,\" jelasnya.
(gal/agm)