Sementara itu, Koordiantor Indonesia Corruption Watch Ade Irawan mengatakan menyebut ketidakhadiran para saksi itu bisa diartikan mereka tidak mematuhi perintah perintah presiden. “Seperti kita ketahui bersama, Presiden dalam pidatonya salah satunya meminta agar kedua pihak saling menghormati proses penegakan hukum yang sedang berjalan,” “terangnya.
Presiden dalam pidatonya juga meminta agar KPK dan Polri saling mendukung dalam pemberantasan korupsi. Ade mengatakan harusnya sebagai penegak hukum, apalagi berstatus perwira menengah (pamen) dan perwira tinggi (pati), para polisi itu mengetahui konsekuensi dari ketidakhadirannya tersebut.
Merujuk pada pasal 224 KUHP, barang siapa dipanggil sebagai saksi, ahli atau juru bahasa menurut undang-undang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban berdasarkan undang-undang yang harus dipenuhinya, maka bisa diancam dalam perkara pidana, dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan. Dalam perkara lain, juga bisa dipidana dengan penjara paling lama enam bulan.
Dalam UU No. 31 / 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juga diatur hal tersebut dalam pasal 22. Bunyi dari pasal tersebut, Setiap orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, Pasal 29, Pasal 35, atau Pasal 36 yang dengan sengaja tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar, bisa dipidana dengan pidana penjara paling singkat tiga tahun dan paling lama 12 tahun. Orang yang dimaksud juga bisa dikenakan denda paling sedikit Rp 150 juta dan paling banyak Rp 600 juta.
Ade Irawan mengatakan harusnya aturan itu dipahami para saksi apalagi mereka berstatus polisi. “Pada prinsipnya setiap warga negara mempunyai kewajiban untuk menjadi saksi, khususnya tindak pidana korupsi,” tegas Ade. Yang menjadi masalah selama ini dalam melakukan pemanggilan paksa, KPK meminta bantuan personel dari Brimob. “Kalau sekarang bagaimana - Apalagi yang akan dipanggil paksa sekelas pati polisi,” “ujar Ade.
(gun)