JAKART A - Selain barang dan jasa, pemberlakuan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) juga ditandai dengan pasar bebas tenaga kerja. Untuk itu, Kementerian ketenagakerjaan (Kemenaker) memetakan profesi apa saja yang harus dilindungi dari serbuan tenaga kerja asing (TKA).
Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri mengatakan, pemerintah bakal berusaha mengendalikan TKA di Indonesia. Dia berencana menambahkan negative list (daftar jabatan yang tak boleh diisi TKA).\"Menurut peraturan sebelumnya kan ada 19 jabatan yang tak boleh diisi oleh TKA. Kebanyakan berada di bidang personalia. Namun, saya pikir masih banyak jabatan yang sebenarnya sudah bisa dikerjakan oleh pekerja Indonesia sendiri,\" ungkapnya di Jakarta kemarin (11/2).
Salah satu jabatan yang dilirik adalah teknisi mesin atau montir. Menurut Hanif, masih banyak ahli mesin di Indonesia yang berasal dari negara lain. Padahal, profesi tersebut sudah ada sejak tahun 1920. Dengan asumsi telah terjadi alih teknologi, dia pun berniat memasukkan jabatan ahli mesin ke daftar jabatan yang dilarang untuk TKA.
Selain montir, Kemenaker juga memasukkan pengajar agama (ustadz) dalam negative list. Karena menurut saya, masyarakat Indonesia sudah pasti kompeten untuk mengajar agama dengan karakter Indonesia. \"Sudah jelas, bahwa visi pemerintah Indonesia adalah menunjukkan karakter negara. Kalau yang mengajarkan orang luar, bisa hilang karakternya,\" jelasnya.
Tak hanya menangkal TKA dengan menambah negative list, Hanif juga merancang halangan teknis untuk TKA yang masuk Indonesia. Misalnya, syarat kemampuan bahasa Indonesia untuk pekerja asing. \"Nanti juga akan diterapkan technical barrier untuk beberapa profesi. Misalnya, koki dari asing bisa diberikan syarat untuk mengusai menu khas Indonesia,\" ungkapnya.
Di sisi lain, upaya tersebut menuai kritikan dari Sekretaris Jenderal Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (Sekjen KSPSI) Subiyanto. Menurutnya, langkah pemerintah memproteksi negara dari TKA dengan larangan justru menunjukkan ketidaksiapan menghadapi MEA. Pasalnya, hal tersebut sangat berlawanan dengan prinsip dasar MEA.
\"Saya khawatir kalau kebijakan ini akan dipermasalahkan ke depannya. Sebab, konsp MEA itu membebaskan kesempatan berdagang dan bekerja tanpa batas. Kalau secara eksplisit dilarang, jelas-jelas itu upaya proteksi yang melanggar kesepakatan MEA,\" ungkapnya.
Menurutnya, pemerintah harusnya lebih fokus untuk meningkatkan daya saing pekerja di Indonesia. Dengan kebijakan itu, pemerintah pun tak perlu khawatir kualitas pekerja lokal bakal kalah dengan asing. Di sisi lain, tenaga kerja Indonesia bisa punya kesempatan untuk mencari kesempatan kerja di luar negeri.
\"Yang menjadi masalah saat ini kan sistem pendidikan yang malah jauh dari dunia pekerjaan. Misalnya, Sekolah Teknik Mesin (STM) sekarang hanya punya fasilitas mesin bubut manual. Padahal, hampir semua pabrik sekarang memakai mesin otomatis dengan komputer. Jelas lulusan STM jadi tak punya bekal yang tepat,\" terangnya.
(bil/kim)