Diusir Ibu, Jadi Preman, Tersadar ketika Akan Mati

Senin 16-02-2015,00:00 WIB

Aldi mengaku menggunakan narkoba sejak usia sembilan tahun. Saat itu Aldi kecil tinggal bersama orang tuanya di daerah Cipete, Jakarta Selatan. Oleh teman sepermainannya yang lebih dewasa, Aldi kerap dicekoki pil nipam. ’’Kalau sudah mabuk, saya jadi bahan tertawaan mereka,’’ kenangnya.

Ketika ayahnya memergoki, Aldi mendapat ’’hadiah’’ pukulan.  Namun keluarganya tetap tak melakukan proteksi. Ayah dan ibunya justru terlibat konflik rumah tangga yang akhirnya berujung pada perceraian.

’’Saya anak kedua dari lima bersaudara. Satu kakak perempuan dan dua adik laki-laki semuanya akhirnya jadi pengguna narkoba,’’ cerita Aldi.

Perceraian orang tua membuat Aldi dan saudaranya kehilangan kasih sayang. Mereka justru sering memanfaatkan kondisi itu untuk mendapatkan uang dari ayah dan ibunya.

                ’’Saya minta ke ayah dengan bilang tidak diberi uang oleh ibu. Begitu pula cara saya minta uang ke ibu. Ujung-ujungnya uangnya untuk beli narkoba,’’ terangnya.

Akibatnya, Aldi makin terjerumus ke lembah narkoba. Bukan hanya nipam, sejumlah jenis narkoba mulai dicobanya. Dia juga mengonsumsi miras (minuman keras) dan pil.

Menurut Aldi, saat itu efek dari narkoba masih begitu belum terasa. Baru ketika menginjak SMA, dampak buruk narkoba mulai dirasakan. Dia jadi malas sekolah. Padahal saat SMP Aldi mengaku masih aktif di ekstrakulikuler dan selalu masuk 10 besar. ’’Saat SMA lagi ngetren putau, saya juga mulai coba-coba,’’ ungkapnya. Ketergantungan pada narkoba akhirnya membuat Aldi dikeluarkan dari sekolah. Sebab, dia jarang masuk sekolah.

                ’’Sebenarnya ibu berusaha membawa saya berobat. Saya sempat dibawa ke rumah sakit hingga ke paranormal untuk menyembuhkan,’’ ujar pria kelahiran Jakarta, 12 November 1980, itu.

Namun upaya itu tak membawa hasil karena lingkungan di sekitar rumah Aldi tak mendukung. Ibunya juga lemah dalam pengawasan karena harus bekerja.

                Pada usia 18 tahun, Aldi memutuskan untuk keluar rumah.’’Saya agak diusir oleh ibu. Sebab saya jadi influence bagi anak-anak kecil di lingkungan tempat tinggal saya,’’ ujarnya.

Aldi akhirnya tinggal di jalanan. Sejumlah pekerjaan dilakoni. Mulai jadi tukang parkir, penarik retribusi bus, sampai sesekali memalak orang. Empat tahun dia menjalani kehidupan jalanan. Aksi premanisme yang dilakoni Aldi juga sempat mengantarkannya ke bui. Beberapa kali dia ditangkap polisi, mulai dari Polsek Taman Puring, Blok M, sampai Setiabudi. Ayah dua anak ini sempat diproses dan ditahan di Lapas Cipinang selama empat bulan.

                Di dalam tahanan bukannya jera, Aldi malah semakin menjadi-jadi. Dia mengaku sering menggunakan narkoba di tahanan. ’’Terakhir, setelah saya keluar dari lapas, saya merasakan kondisi fisik makin menurun,’’ kisahnya.

Beruntung dia mendapatkan informasi pengobatan dari seorang teman. Saat itu Rumah Sakit Ketergantungan Obat (RSKO) memiliki program penjangkauan ke para pengguna narkoba di jalanan.

’’Saat itulah titik balik kehidupan saya. Saya sempat merasa takut mati, karenanya saya pilih ikut program RSKO itu,’’ katanya. Maklum, ketika itu banyak teman Aldi yang meregang nyawa karena terkena HIV/AIDS lewat jarum suntik.

                Ada kejadian lain yang juga membuat Aldi tersadar. Dia sempat hendak membunuh pacar yang setia menungguinya, yang saat ini menjadi istrinya, Farah Yunita. ’’Saat itu saya sakau. Saya lihat dia ngobrol dengan seorang lelaki. Saya parno (paranoid) dan ingin membunuhnya,’’ kenangnya.

                Selama 18  bulan Aldi melakoni rehabilitasi di RSKO. Di lingkungan yang save itu Aldi bisa menahan diri dan akhirnya mulai bisa mentas dari ketergantungan zat adiktif. Dari sejumlah kegiatan rehabilitasi itu, Aldi mengaku banyak belajar dan berproses untuk kembali ke kehidupan normal. Banyak pelajaran yang ia dapat, baik dari konselor maupun temannya yang menjalani rehabilitasi di RSKO.

Tags :
Kategori :

Terkait